Illustrasi.Net |
Dihubungi VIVAnews, Senin 18 November 2013, Dubes Nadjib Riphat Kesoema, mengaku manut terhadap apa pun keputusan yang diambil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto.
"Intinya saya mengikuti saja apa yang dikatakan Menlu dan Menko Polhukam," ujar Nadjib singkat.
Ditanya kapan dia akan kembali ke Jakarta, Nadjib enggan mengomentari lebih jauh. "Ya, ngobrol lebih lanjutnya nanti saja saat saya sudah berada di Jakarta," jawab Nadjib.
Penarikan Nadjib ini merupakan bentuk kemurkaan Pemerintah Indonesia terhadap isi pemberitaan harian Sydney Morning Herald (SMH) dan Guardian yang membongkar praktik penyadapan yang diduga dilakukan Badan Intelijen Australia (DSD) terhadap Presiden SBY dan Ibu Negara, Ani Yudhoyono. Kedua media asing tersebut memperoleh informasi dari dokumen mantan kontraktor Badan Intelijen Amerika Serikat (NSA), Edward J Snowden.
Harian Guardian bahkan memaparkan secara khusus beberapa dokumen dalam bentuk slide presentasi milik DSD. Mereka menulis DSD telah menyadap komunikasi Presiden SBY di bulan Agustus 2009 lalu selama lebih dari 15 hari.
Di dalam dokumen itu tertulis daftar panggilan ke luar dan masuk ke dalam ponsel pribadi Presiden SBY yang saat itu masih menggunakan perangkat ponsel Nokia E90-1. Data panggilan di dalam slide itu mencakup nomor si penelepon, nomor tujuan telepon keluar, lama durasi percakapan di telepon dan jenis komunikasi yang dilakukan Presiden SBY, apakah itu SMS atau panggilan suara
Selain Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono, DSD turut menyadap beberapa figur penting lainnya, yaitu mantan juru bicara luar negeri Presiden SBY dan mantan Duta Besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal; mantan juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng; mantan Mensesneg, Hatta Radjasa; mantan Wapres, Jusuf Kalla; mantan Menteri Keuangan yang kini menjabat sebagai Direktur Grup Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati; mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil; dan mantan Menkopolkam, Widodo Adi Sucipto.
Pemerintah Indonesia sebelumnya pernah menarik Dubes di Australia tahun 2006 silam, sebagai bentuk protes atas keputusan Negeri Kanguru memberikan visa kepada 42 warga Papua. Kantor berita BBC, 23 Maret 2006, melansir saat itu Dubes Indonesia dipanggil pulang dengan pesawat pertama yang tersedia.
Indonesia saat itu menuduh Negeri Kanguru menerapkan standar ganda, karena sebelumnya telah menolak permintaan suaka pendatang dari negara-negara lain.
Source : VivaNews
0 komentar:
Posting Komentar