RIAUGREEN.COM - Para aktivis lingkungan mendesak pemerintah untuk segera merevisi peraturan terkait dengan perubahan status kawasan hutan di Papua yang bisa berakibat kepada kerusakan hutan di propinsi tersebut.
Dilansir energitoday, Hal tersebut disampaikan oleh Teguh Surya, juru kampanye politik kehutanan untuk Greenpeace Asia Tenggara, di Jakarta, Kamis (14/3), terkait dengan Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK 458 yang antara lain membolehkan kawasan hutan seluas 376.385 hektar menjadi bukan kawasan non hutan.
"Kami meminta menhut dan Presiden untuk merevisi bukan mencabut SK 458 tersebut karena posisi kawasan hutan lindung tidak tergantikan. Maknanya, Papua akan kehilangan areal hutannya. [Seharusnya] kita bisa banyak belajar dari kerusakan hutan di Sumatra dan Kalimantan," tegas Teguh.
Kiki Taufik, spesialis GIS (Geographic Information System) dari Greenpeace Asia Tenggara, menjelaskan bahwa dikeluarkan SK tersebut berarti Papua kehilangan sekitar 800 ribu hektar kawasan hutan mereka.
Analisa yang dilakukan oleh Greenpeace berdasarkan interpretasi terhadap SK 458, kawasan hutan primer seluas 376 ribu hektar akan diubah menjadi bukan lindung, yang artinya bisa berpotensi menjadi kawasan hutan produksi atau areal penggunaan lain (APL).
Lebih lanjut, ada 392 ribu hektar yang berubah fungsi dari hutan lindung dan konservasi diturunkan menjadi hutan produksi.
"Dengan kata lain, hampir 800 ribu hektar kawasan hutan di Papua berpotensi deforestasi apabila sudah selesai moratorium," lanjut Kiki menambahkan komitmen moratorium hutan di Indonesia akan berakhir pada bulan Mei mendatang.
Kiki menambahkan bahwa SK tersebut sebenarnya sudah ditandatangan pada tanggal 15 Agustus 2012 silam, namun luput dari perhatian publik. "Kita memang agak telat (mengetahuinya), baru sadar saat ada revisi peta moratorium yang ketiga di mana areal hutan primer di Papua sudah berubah fungsi," jelasnya. "Setelah dianalisa, SK tersebut menjadi dasar dan langsung dilakukan perubahan di peta revisi-nya."
0 komentar:
Posting Komentar