foto:google |
“Tidak ada urgensi untuk RUU tersebut menjadi UU karena ada inkonsistensi pasal, substansi, definisi hutan yang tidak sesuai, terutama juga soal penegakan hukum dan korupsi. Malah yang diakomodir justru yang negatif,” tandas Deddy Ratih, manajer advokasi tata ruang dan bioregion dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), saat memberikan pernyataan pers, di Jakarta, seperti dilansir energitoday Selasa (26/3).
Sebelum diberikan nama RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, naskah tersebut sudah melalui setidaknya dua kali perubahan nama, antara lain RUU Illegal Logging (Pembalakan Liar), yang kemudian diubah karena tidak sesuai dengan definisi di Indonesia. Lalu, RUU tersebut diubah menjadi RUU Anti Pembalakan Liar sebelum diubah menjadi RUU Pemberantasan dan Perusakan Hutan di tahun 2011 lalu.
Lebih lanjut, Deddy mengatakan bahwa definisi hutan yang terdapat dalam RUU tersebut bertentangan dengan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama karena tidak mengakui adanya hutan hak di Indonesia. “Kalau di UU 41 jelas disebutkan bahwa hutan hak adalah hutan negara, di sini (RUU) tidak ada dan itu akan justru memperbesar adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan hutan adat,” tandasnya. “RUU ini sudah cacat secara hukum dan cacat substansi.”
Beberapa pasal lainnya yang dianggap koalisi merugikan masyarakat, antara lain, adanya aturan bahwa perusakan hutan juga mencakup penebangan pohon dengan diameter 10 cm dari tegakan pohon minimal 1,5 meter dari tanah, masa penahanan setidaknya 2x24 jam berbeda dengan peraturan KUHP yang hanya 1x24 jam, dan adanya kelembagaan khusus untuk menangani masalah perusakan hutan.
“Kalau ukuran diameter 10 cm, masyarakat yang menggantungkan kayu untuk hidup sehari-hari pasti kena. Misalnya, masyarakat adat perlu buat pagar kandang, ya pasti akan kena. Apalagi ada pasal ‘dua orang atau lebih’ dibilangnya terorganisir, kriminalisasi masyarakat adat pasti tinggi. Mereka akan kena minimal 4 tahun penjara,” jelas Dede Shineba, deputi untuk Advokasi Publik dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Ia menambahkan bahwa tidak ada rasionalisasi dalam RUU tersebut, misalnya sopir pengangkut kayu bisa mendapatkan hukuman yang sama dengan pemilik perusahaan atau yang ambil satu batang kayu bisa mendapatkan hukuman yang sama dengan yang ambil ratusan pohon. “RUU ini sudah cacat hukum dan tidak ada naskah akademik untuk perubahan namanya, prosesnya saja diam-diam dan tertutup. Isi RUU ini seakan diinsert tapi tidak ada penjelasan akademis. Kami saja baru tahu ada draft ini minggu lalu dan baru tahu akan segera disahkan minggu depan,” jelas Dede.
Tama S. Langkun, divisi investigasi dari Indonesian Corruption Watch (ICW), menyatakan bahwa koalisi anti mafia hutan sudah menyiapkan pengajuan kembali (PK) ke Mahkamah Konstitusi apabila DPR bersikeras untuk mensahkan UU tersebut. “Dari prosesnya saja, substansi, bahkan tidak sinkron dengan UU lainnya, banyak bolongnya. Kalau DPR mau terus [sahkan RUU] ya kami sudah pasti siap dengan judicial review,” kata Tama. Ia menekankan kepada adanya indikasi menghambat kerja KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] dalam memberantas korupsi kehutanan dengan adanya pembentukan lembaga khusus menangani perusakan hutan. “Lembaga baru itu dibentuk dengan UU sendiri, contohnya KPK itu punya UU KPK sendiri. Dia tidak dibentuk melalui UU pemberantasan korupsi. Jadi, ini jelas-jelas disharmonisasi dengan UU yang ada,” jelasnya menambahkan bahwa pengajuan kembali tersebut ditujukan untuk membatalkan UU P2H.
Dede menambahkan bahwa koalisi tidak menentang adanya perlawanan terhadap pembalakan liar dan perusakan hutan, namun kejahatan tersebut tidak akan bisa diatasi dengan RUU tersebut. “RUU tidak akan pas, kenapa tidak langsung saja revisi UU kehutanan,” tandasnya.
Koalisi Anti Mafia Hutan terdiri dari berbagai macam organisasi masyarakat sipil, yaitu WALHI, HuMa (Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis), Epistema Institute, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Sylvagama, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sawit Watch, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), PUSAKA, Indonesia Corruption Watch (ICW). (FID)
0 komentar:
Posting Komentar