PEKANBARU, RIAUGREEN.COM - Walau merupakan kawasan perlindungan Flora dan Fauna langka, bukan berarti Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Provinsi Riau bebas dari para perambah. Malah ditemukan sekitar 21.457 hektare dari total luas mencapai 83.068 hektare kawasan TNTN sudah dirambah. Bahkan kini menjelma jadi kebun Kelapa Sawit serta Karet.
Jumlah tersebut merupakan hasil monitoring kawasan perambahan oleh dilakukan World Wildlife Fund (WWF) bersama Balai Taman Nasional Tesso Nilo hingga 2011 di kawasan yang membentang di Kabupaten Pelalawan dan sebagian wilayah Kabupaten Indragri Hulu, Provinsi Riau.
Lewat monitoring, kawasan TNTN yang menjelma jadi kebun Kelapa Sawit mencapai 15.714 hektare. Sedangkan yng menjadi kebun karet mencapai 328 hektare. Kemudian kerusakan juga disebabkan aksi pembalakan liar yang baru dilakukan.
Akibatnya 1.534 hektare hutan gundul dan 3.846 hektare menjelma jadi semak belukar di hutan yang dikenal tempat tinggal terakhir bagi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Perambahan tersebut, bukan hanya sekedar data belaka. Terbukti dalam penelusuran Tribun bersama tim Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Selasa (23/1) kerusakan kawasan TNTN terlihat jelas. Satu dintaranya kala memasuki TNTN melalui jalan koridor Basrah PT RAPP, tepatnya perbatasan Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).
Memasuki jalan perkebunan lewat jalan koridor RAPP yang tak jauh dari Desa Situgal, Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuansing memang hanya jalan tanah liat mendaki, di pingir kanan dan kiri tampak jejeran hutan yang ditanami pohon yang jenisnya beragam.
Walalu kondisi jalan cukup berat, terutama kala hujan mengguyur. Walau demikian tetap tampak perambah berlalu-lalang yang kebanyakan menuju ladang dengan sepeda motor, yang ban belakangnya diganti dengan ban motor trail.
Setelah puas melihat hutan, sekitar 4 Km berjalan tim dikejutkan dengan sisa perambahan pohon yang ada di tepi jalan perkebunan itu. Sejauh pandangan pepohonan sudah dirambah, sebagian tampak berganti dengan menjadi kebun Kelapa Sawit.
Hal tersebut sangat mengejutkan. Sebab lokasi itu sudah termasuk kawasan TNTN bagian selatan, tepatnya kawasan TNTN yang membentang di daerah Bukit Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan
Pandangan serupa juga terlihat di wilayah TNTN yang membentang di Air Sawan, Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelawawan. Pemandangan di lokasi tersebut lebih parah. Sebab masih terlihat sisa perambahan usai dibakar, kala mereka hendak membuka lahan.
Kawasan hutan tersebut tampak sengaja dibakar untuk ditanam sawit. Para perambah tampak menggunakan jalan yang merupakan bekas jalan perkebunan. Bila jalan menyempit mereka pun membuat jalan sendiri. Sehingga mereka bisa melintasi hutan dengan sepeda motor.
Ketika menyusuri jalan setapak yang sepanjang 4 km yang hanya bisa dilalui sepeda motor itu, tim bertemu dengan sebuah pondok perambah. Di sekelilingnya tak ada lagi pepohonan, yang tersisa hanya sisa pohon yang mati usai pembakaran ketika membuka lahan.
Bahkan Konimin, si pemilik pondok mengaku pondok yang didirikannya dengan menggunakan kayu hutan. Pria asal Jawa tersebut mengaku sudah hampir dua tahun berdiam di pondok yang disusun dari susunan papan dan beratap seng.
Sebagai perambah Pak Imin, kerap ia disapa, mengaku saat membuka lahan tidak membakar lahan secara menyeluruh. Namun secara bertahap. Pria yang lama merantau di Medan ini membakar lahan per 1/2 Hektare.
Tapi sangat mengejutkan, pria 60 tahun ini kala mengaku tak tahu bahwa lahan yang dirambahnya merupakan kawasan TNTN, sebuah kawasan yang dilindungi flora dan fauna di dalamnya. "Saya tak tahu bahwa ini TNTN. Kalau ini TNTN mana mau saya buka lahan disini," ulas pria yang sempat berprofesi sebagai sopir.
Diceritakan Pak Imin, lahan tersebut dibuka atas tawaran seseorang yang mengaku memiliki lahan. Dengan sistem bagi hasil 70-30 ia pun tergiur untuk ikut membuka lahan tersebut. Rencananya lahan tersebut akan ditanaminya tanaman Karet dan Kepala Sawit.
Dirinya mengaku menerima jatah mengelola 2 hektare, bersama 35 orang lainnya. Namun diakuinya hingga kini ia belum memperoleh hasil yang berarti. Maka saat mengetahui itu adalah kawasan TNTN, ia begitu bingung. Sebab tak tahu harus kemana untuk pindah. "Karena ini hutan lindung, saya bakal mengolah yang ada saja. Saya tidak bakal merambah lainnya," aku Pak Imin.
Kerabat Imin yang berada tak jauh dari pondoknya, Ramli, juga mengaku tak tahu bahwa lahan yang diolahnya adalah TNTN. Kedatangan pria kelahiran Jawa Tengah ke kawasan tersebut hanyalah untuk mencari hidup lebih baik. Itupun atas iming-iming seorang yang mengaku pemilik lahan. Alhasil lahan di kawasan TNTN pun dirambahnya.
Pengakuan serupa juga terlontar dari Hendri Bangun Lubis. Pria yang keberatan disebut sebagai perambah ini juga mengaku
tidak mengetahui bahwa lahan Kelapa Sawit yang akan digarapnya berada di kawasan TNTN. Maklum kala hendak menggarap lahan yang dibeli dengan biaya ganti rugi senilai hampir Rp 20 Juta, Lubis memperoleh surat legal.
"Adanya surat itu membuat saya yakin lahan yang kami garap bukan TNTN. Apalagi kawasan itu sudah berkembang dengan pemukiman. Kalau memang itu TNTN, saya tidak mau membuka lahan," ulasnya.
Kini kawasan yang dibukanya sejak tahun 2008 seluas 18 Hektare. Selain Lubis, di kawasan Bukit Makmur, Desa Bukit Kusuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kab Pelalawan sebanyak 800 Kepala Keluarga (KK) juga mengelola ladang Sawit.
Melihat keadaan itu, Lubis mengaku keberatan ketika pihak pemerintah bakal mengambil lahan itu. Maklum ia tidak tahu menahu tentang kawasan tersebut yang masuk dalam TNTN. "Saya tidak mau angkat kaki. Demi lahan itu saya pun rela mati," tegasnya.
Namun bila memang lahan tersebut harus dikosongkan, Lubis bersama rekannya ingin bermusyawarah dengan pihak terkait. Sehingga bisa membahasa masalah tersebut dan menghasilkan solusi terbaik. Maklum ada ribuan perambah lainnya yang kini sedang mengelola ladang di kawasan TNTN.
Menurut Tenaga Lokal dari Forum Masyarakat Tesso Nilo, M. Hadta perambahan sudah terjadi Sejak 2004 mulai dari DesaToro Jaya, Kecamatan Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan. Bahkan kini berkembang menjadi beberapa Toro. Proses ladang dan penjualan sangat terorganisir. Sehingga ada perambah melayani pembelian TBS dalam jumlah besar.
Keberadaan mereka tumbuh subur, kata Ata, karena terbukanya jalan perkebunan di sekitar kawasan TNTN. Bahkan untuk mencegah petugas masuk, perambah tak segan-segan mencangkul dan memotong jalan tanah. Sehingga agar akses menuju kawasan rambahan tidak bisa dilalui.
Banyaknya jumlah perambah, membuat Ata sebagai tenaga lokal bersama rekan LSM terus bersosialisasi dengan perambah. Lewat sosialisasi mereka menyampaikan bahwa kawasan yang dirusak perambah merupakan kawasan TNTN yang dilindungi. Bahkan setelah bersosialisasi banyak masukan berupa solusi dan harapan yang terlontar dari perambah.
Alhasil lewat pertemuan dan musyawarah beberapa perambah bersedia untuk tidak membuka lahan baru. Namun tetap kukuh mengelola ladang yang diklaim sebagai milik mereka. "Mereka tak mau pindah. Namun mereka mau mengganti ladang mereka dengan tanaman hutan yang tidak merusak hutan. Seperti tanaman Durian Hutan atau petai," ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Situgal, Kecamatan Logas Tanah Darat di Kabupaten Kuansing ini.
Sementara itu, menurut Manager Iinformasi dan Komunikasi Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali keberadaan perambah di TNTN merupakan bentuk pembiaran pemerintah terhadap kawasan konservasi itu. Terbukti tiap tahun jumlah perambah dan rusaknya hutan (deforestation) terus terjadi.
Seharusnya, kata pria berkacamata itu, di kawasan tersebut harus dilakukan penananam kembali dan patroli rutin. Sehingga mencegah datangnya perambah baru ke TNTN.
Sembari aksi tersebut, pihak terkait juga harus melakukan sosialisasi atau musyawarah dengan masyarakat. Terutama dalam menyampaikan betapa pentingnya keberadaan TNTN. "Melihat banyaknya perambah yang tidak tahu tentang TNTN, membuat pemerintah dan pihak terkait harus bertindak segera. Terutama mencegah datangnya perambah baru," terang Made.
Dengan adanya data dan temuan kerusakan hutan di TNTN, pihak Jikalahari telah menyampaikan rekomendasi khusus kepada pihak terkait. Itu dilakukan guna menghindari adanya penggundulan hutan. Rekomendasi sudah disampaikan pada Menteri Kehutanan, Menhut, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Kepala Balai TNTN.
Menanggapi temuan itu, Kepala Balai TNTN, Kupin Simbolon menyebut bahwa dirinya sudah memerintahkan petugasnya untuk menindak para perambah. Terutama perambah baru yang hendak membuka lahan dengan merusak kawasan hutan TNTN. "Kita sudah perintahkan personel ke lapangan. Bila ditemukan perambah baru langsung diproses secara hukum. Tak ada tawar menawar," ulas Kupin.
Sedangkan perambah lama yang jumlahnya sudah sangat banyak, Kupin mengaku personelnya belum sanggup menandingi. Bahkan hingga kini pihaknya belum memiliki data valid tentang jumlah perambah yang mungkin sudah ribuan. Apalagi asalnya dari berbagai provinsi.
Oleh sebab itu, pendekatan yang dilakukan lebih bersifat sosialisasi. Namun tetap adanya ketegasan untuk tidak merambah lagi di kawasan TNTN. Sedangkan solusi bagi perambah, menurut Kupin dalam waktu dekat akan bermusyawarah dengan perambah. Apalagi mereka ingin tetap tinggal di kawasan hutan. Namun dengan mengelola tanaman buah hutan. "Ini masih perlu didiskusikan dan butuh musyawarah dengan masyarakat," terangnya.(*)
tribun
Lahan Area Taman Nasional Tesso Nilo Diperjualbelikan
Jumat, Januari 25, 2013
Label:
Lingkungan,
Pencemaran,
Perambanan,
Seputarriau
0 komentar:
Posting Komentar