PEKANBARU, RIAUGREEN.COM - Agus Salim tampak sibuk mengawasi ratusan calon penumpang di bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. Sesekali ia tampak menghubungi dan menerima laporan dari alat komunikasi yang dibawanya.
Tak jarang ia memberi penjelasan pada calon penumpang yang ingin mengetahui kepastian jadwal penerbangan.
"Hari ini semua penerbangan dibatalkan. Ada 64 penerbangan, dari dan menuju Pekanbaru dibatalkan. Mohon dimaklumi, ini karena kondisi cuaca akibat kabut asap yang tidak memungkinkan bandara dibuka,"ujar Agus Salim berbicara pada calon penumpang yang terlihat kebingungan.
Memang sebelumnya ada beberapa maskapai yang masih berharap bisa tetap terbang atau mendarat di Pekanbaru, sambil menunggu perkembangan cuaca di Ibukota Provinsi Riau itu.
Namun pada pukul 14.30 wib, akhirnya diputuskan seluruh penerbangan dibatalkan. Pembatalan terakhir terpaksa dilakukan maskapai Silkair dengan tujuan Pekanbaru-Singapura.
"Tadinya jarak pandang sempat naik 700 meter. Namun pukul 13.30 wib malah turun ke 600. Biasanya makin sore makin tebal. Di lintasan hanya terlihat kabut putih saja. Karena itu otoritas bandara akhirnya memilih untuk membatalkan penerbangan yang sudah terjadwal," kata Agus.
Alasan delay (penundaan) atau cancel (pembatalan) akibat memburuknya kondisi cuaca di bandara SSK II Pekanbaru, sebenarnya sudah sering terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Namun kondisi makin parah sejak Minggu (9/3) lalu. Sempat terjadi penumpukan ribuan penumpang di bandara utama Provinsi Riau ini.
Agus mengakui, kondisi bandara saat ini memang paling buruk setelah 17 tahun berlalu, sejak Riau mulai rutin dilanda bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Pria yang sudah mengabdi selama 36 tahun di Angkasa Pura ini mengaku, bencana kabut asap terparah di Riau terjadi tahun 1997 lalu.
"Ini seperti mengulang bencana 17 tahun lalu. Tahun 1997 itu, bencana kabut asap benar-benar sangat parah. Saya masih ingat, ketika itu bandara Pekanbaru sampai harus ditutup selama 3 bulan. Semua calon penumpang dialihkan ke bandara terdekat, seperti Padang, Medan atau Jambi," kata Agus.
Sejak bencana asap terbesar tahun 1997, Provinsi Riau setiap tahun mengalami bencana kabut asap. Namun kata Agus, kondisinya tidaklah separah tahun 1997. Kini setelah 17 tahun berlalu, Agus mengakui tanda-tanda bencana kabut asap besar mulai terlihat.
"Ini sudah hampir sebulan lebih sering delay dan seminggu terakhir banyak penerbangan yang terpaksa dibatalkan. Tapi kita berharap jangan sampai terlalu lamalah. Kasihan penumpang dan kasihan pegawai di sini juga," kata Agus berharap.
Sebelumnya, kepala pusat data informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan Kerugian ekonomi akibat bencana asap yang dipicu kebakaran lahan dan hutan di Sumatera khususnya di Riau, mencapai Rp10 triliun. Kerugian tersebut berdasarkan kerugian transportasi dan kegiatan ekonomi masyarakat.
"Total kerugian ini akibat terganggunya aktivitas transportasi dan ekonomi masyarakat kecil lainnya," kata Sutopo dalam jumpa pers di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kerugian paling besar terjadi dari terganggunya aktivitas transportasi udara karena banyak pembatalan dan penundaan pesawat. Selain itu kabut asap yang begitu pekat membuat kualitas udara di Riau dinyatakan sangat berbahaya. Hal tersebut berdampak pada aktivitas dan kesehatan masyarakat.
BNPB memperkirakan kepekatan asap dipicu penambahan titik api di Riau. Dari ratusan hotspot, lebih dari 60 persen dipantau satelit NOAA berada di Provinsi Riau.
Dilaporkan saat ini, warga yang terkena ISPA mencapai 41.589 jiwa. Diantaranya 1.544 jiwa menderita asma, 1.385 jiwa menderita iritasi mata, 2.084 jiwa terkena iritasi kulit dan 862 jiwa terkena pneumonia.(red/jpnn)
0 komentar:
Posting Komentar