Saat ini Riau berstatus tanggap darurat karena kabut asap yang melanda. Kondisi ini sungguh sangat memprihatinkan jika kita amati dengan kondisi udara yang hari ini kita hirup tentu sudah di luar batas wajar yang artinya kondisi udara di Riau sudah tergolong tidak sehat untuk di konsumsi.
Kondisi udara di Riau terus menunjukkan ke arah yang terus memburuk. Berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), sudah ada beberapa wilayah pada posisi status berbahaya ini menunjukkan harus ada tindakan cepat dan tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait kabut asap. Jika kita amati ada peringatan yang terpampang di setiap sisi jalan yang melihatkan empat tingkat status kualitas udara. Pertama 'baik' pada posisi warna hijau, 'sedang' posisi warna biru, 'tidak sehat' pada posisi warna kuning, 'sangat tidak sehat' warna merah dan terakhir 'berbahaya' pada warna hitam.
Dari media yang penulis baca ada sembilan provinsi yang tengah mengalami kebakaran hutan. Lima provinsi berada di wilayah Sumatera, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Aceh, dan Sumatera Utara. Lalu, empat provinsi di Kalimantan. Khusus wilayah Sumatera salah satu sumber kepekatan asap berasal dari daerah Riau.
Pantauan yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, jika titik api di Riau tidak terpantau oleh satelit NOAA18. Sebab, kebakaran di Riau terjadi di lahan gambut. Api berada di bawah gambut, dan yang muncul ke permukaan hanya asapnya. Satelit hanya mencatat titik api di Aceh (17), Kaltim (12), Kalbar (10), Sumut, dan Kaltara (4). Saat ini, Pemprov Riau menyediakan anggaran Rp10 miliar untuk menanggulangi bencana tersebut. Jika kurang, akan dibantu oleh dana siap pakai BNPB. Hasil pantauan menggunakan helikopter menunjukkan jika kebakaran sudah parah dan harus dipadamkan dari udara memakai pesawat berkapasitas besar.
Asap dan Kesadaran Masyarakat
Hal yang mesti dilakukan adalah melakukan penyadaran di masyarakat agar mereka tidak membakar lahan dan hutan serta memberi sanksi kepada perusahaan yang ketahuan membakar lahan. Selain itu, perlu ditegakkan sanksi hukum yang wajar terhadap para pelaku pembakaran. Siapapun yang ketahuan membakar lahan atau hutan, dia bisa dituntut ke pengadilan. Jika ini dapat diterapkan, sudah tentu orang akan takut membakar sembarangan. Adapun lahan atau hutan yang rentan terbakar sendiri secara alamiah, yang dapat mengetahuinya adalah para ahli. Dengan peralatan canggih sekarang ini, titik-titik api yang terekam di foto satelit mungkin dapat menjadi acuan awal dalam rangka pencegahan ke depan. Selebihnya, para ahli tentu lebih tahu, mana yang mudah terbakar dan mana yang tidak, sehingga bisa diantisipasi.
17 Tahun Asap Riau Tanpa Solusi
Menurut Pakar lingkungan dari Universitas Riau Prof Adnan Kasri menyatakan, pada tahun 1997, kasus kebakaran hebat memang sempat terjadi. Namun, masih melanda sebagian besar kawasan hutan alam. Dampak kabut asapnya ketika itu juga tidak separah kali ini, di mana pencemaran udara sudah jauh berada di atas ambang normal. Namun berbeda dengan kasus-kasus kebakaran di era tahun 1990 hingga tahun 1997 yang sempat menjadi puncak terparah pada peristiwa kebakaran lahan atau hutan di Riau. Pada tahun 1990 kawasan yang terbakar atau dibakar adalah kawasan hutan alam yang memang dahulu masih banyak di provisi ini. Sedangkan pada tahun 1997 pada waktu itu menjadi puncak kebakaran hebat, luas lahan yang terbakar juga begitu parah.
Selama 17 tahun masyarakat di Riau telah menghirup udara yang tidak sehat, dan itu tanpa solusi yang dilakukan oleh pemerintah, ada kesan bahwa pemerintah melakukan pembiaran selama ini. Hal ini tentunya membuat kita gerah akan sikap pemerintah yang tidak mampu mengatasi masalah asap, serta tidak bertindak tegas terhadap para pelaku pembakaran sehingga tindakan ini terus dilakukan baik secara individu maupun perusahaan yang melakukan pembakaran lahan.
Ada pun usaha yang telah dilakukan pemerintah selama ini dalam menghadapi asap patut kita apresiasi. Walaupun sampai hari ini belum membuahkan hasil yang maksimal tentunya dalam berbagai usaha memadamkan sejumlah titik api sudah dilakukan, baik dengan alat pemadam kebakaran, atau dengan membuat hujan buatan. Tetapi kalau dicermati, semua usaha itu bersifat sementara belaka. Ia ibarat obat penenang, yang berfungsi mengurangi rasa sakit, sedangkan sumber penyakitnya, tetap tak terobati. Maka tak heran jika tahun depan, hal serupa hampir bisa dipastikan akan terjadi lagi. Bahkan boleh jadi, lapisan asapnya lebih tebal dari yang kita saksikan tahun ini. Harapan kita tentunya permasalahan asap ini dapat segera diatasi sehingga kondisi seperti ini tidak terulang lagi. Kita tak mungkin memusnahkan asap secara total, tetapi kita bisa bertindak untuk berbuat menyosong Riau tanpa asap. (okz)
ARIPIANTO
Penulis Adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru Dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau
0 komentar:
Posting Komentar