foto : google |
PEKANBARU, RIAUGREEN.COM - Jaringan Pemantau Independen Kehutanan mempertanyakan sertifikat dalam sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) 14 perusahaan kehutanan di Provinsi Riau terkait dengan kasus korupsi kehutanan dengan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal.
"Ada indikasi 14 perusahaan itu terlibat korupsi yang melibatkan gubernur. Oleh karena itu, kami meragukan proses sertifikasi SVLK mereka," kata Koordinator JPIK Riau Zainuri Hasyim di Pekanbaru, Jumat.
Seperti dilansir situs antarariau, SVLK adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu atau produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK mengacu pada Permenhut No P.38/Menhut-II/2009 yang diperbaharui dan ditetapkan melalui peraturan terbaru, yaitu P.45/Menhut-II/2012.
Menurut Zainuri, kembali diperiksanya 14 perusahaan terkait dengan kasus korupsi kehutanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal merupakan indikasi adanya ketidakberesan dalam tata kelola kehutanan di Riau.
Padahal, dari 14 perusahaan tersebut, ada tiga perusahaan yang mendapatkan sertifikat dalam Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) dan tujuh perusahaan yang memperoleh sertifikat dalam verifikasi legalitas kayu (VLK).
Sebagian besar perusahaan tersebut tergabung dalam Asia Pulp & Paper (APP) grup.
Zainuri menyatakan, sejak 2010, JPIK Riau telah melakukan pemantauan terhadap perusahaan yang akan melaksanakan penilaian terhadap SVLK, di antaranya adalah perusahaan PT Arara Abadi. Dalam proses pemantauan, kami kesulitan memperoleh data dan informasi atas proses sertifikasi dan hasil atas sertifikasi tersebut.
Zainuri menambahkan, dari hasil pemantauan, terdapat permasalahan atas kinerja perusahaan, baik dari aspek prasyarat, ekologi, maupun sosial, yang belum tuntas dan terindikasi ditutupi oleh lembaga yang melakukan penilaian dan perusahaan yang dinilai.
"Indikasi atas adanya permasalahan atas kinerja perusahaan ini menguat saat KPK membuka kembali kasus ini," katanya.
Oleh karena itu, dia mengatakan terkait dengan sertifikat SVLK yang diterima perusahaan ini harus dipertanggungjawabkan, tidak hanya oleh perusahaan, tetapi juga lembaga sertifikasi atau penilai yang telah menerbitkan sertifikat tersebut.
"Komite Akreditasi Nasional dan Kementerian Kehutanan juga turut bertanggung jawab atas hal ini," ujarnya.
SVLK perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus korupsi kehutanan Gubernur Riau perlu ditinjau ulang, dibekukan dulu, dan kalau bermasalah harus dicabut, kata Zainuri.
Ia menambahkan, kasus yang terjadi di Riau ini memperlihatkan pada semua pihak bahwa masih terjadi praktik-praktik yang tidak sehat dalam proses perizinan di sektor kehutanan yang melibatkan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
JPIK akan mendorong aspek perizinan menjadi bagian penting atau wajib dalam proses penilaian SVLK, termasuk yang berkaitan dengan proses memperoleh izin tersebut, sehingga terbitnya SVLK tidak menjadi legitimasi perusahaan atas kejahatan yang telah mereka perbuat.
"Kita lihat apa yang terjadi di Riau dengan adanya dugaan suap dalam proses perizinan di sektor kehutanan adalah bukti bahwa diperolehnya sertifikat SVLK beberapa perusahaan HTI di Riau cacat secara penilaian. Sudah seharusnya kasus ini menjadi contoh untuk perbaikan SVLK terkait aspek perizinan agar SVLK menjadi kredibel," ujarnya.
Dalam sepekan terakhir, penyidik KPK terus memintai keterangan dari 14 perusahaan kehutanan dalam kasus korupsi kehutanan untuk tersangka Rusli Zainal.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap 14 perusahaan untuk menguatkan bukti status tersangka Gubernur Riau Rusli Zainal dan mengorek informasi untuk bisa dikembangkan.
Kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pelalawan Riau periode 2001--2006 sejauh ini telah menjerak banyak tersangka kalangan pejabat di Riau.
Beberapa pejabat yang sudah menjadi terpidana dalam kasus itu, antara lain, Tengku Azmun Jaafar (bekas Bupati Pelalawan), Arwin AS (bekas Bupati Siak), Asral Rahman (bekas Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2002--2003), Syuhada Tasman (bekas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2003--2004) dan Burhanuddin Husin (bekas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi riau 2005--2006).
Kasus kehutanan Pelalawan bermula pada dispensasi Rencana Kerja Tahunan (RKT) terhadap 12 perusahaan di Riau yang diduga merugikan negara hingga Rp500 miliar.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau 2004, Gubernur Riau pada tahun 2004 telah menerbitkan 10 Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Bagan Kerja (BK) IUPHHK-HT atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan tanggal 8 Juni 2002 dan dua Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6652/Kpts-II/2002 dan Nomor 151/Kpts-II/2003 menyebutkan kewenangan pengesahan dan penerbitan RKT merupakan kewenanangan Menteri Kehutanan sehingga Rusli selaku Gubernur Riau tidak memiliki kewenangan untuk menilai dan mengesahkan RKT atau Bagan Kerja IUPHHK-HT. (*)
0 komentar:
Posting Komentar