Penanganan Kebakaran Oleh SBY Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah
Selasa, Maret 18, 2014
“Mentari yang hilang telah kembali, yuk simpan masker buat tahun depan,” pemilik akun FB Linda Occu Gadiombun lainnya.
Begitulah komentar beberapa warga Pekanbaru setelah dua hari kota dan sejumlah daerah lainnya di Riau diguyur hujan deras. Hujan deras yang mengguyur Pekanbaru menjadi berkah besar setelah provinsi ini diselimuti kabut pekat dari pembakaran hutan dan lahan. Bahkan hampir selama sepekan terakhir, tebalnya asap dari ribuan titik api telah meningkatkan level polusi udara menjadi tingkat berbahaya di sepanjang hari.
Hujan deras ini memang diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menandai masuknya musim hujan hingga Mei mendatang. Bersamaan dengan itu, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Pekanbaru dalam rangka operasi militer non perang menanggulangi kabut asap. Presiden mengambil alih percepatan penanggulangan titik api di wilayah Riau.
Kondisi titik api di Riau tanggal 17 Maret 2014. Foto: esri
“Satgas darat sudah memadamkan lahan seluas 15.837 hektar dari total lahan yang terbakar seluas 19.538 hektar. Satgas udara Sabtu berhasil melakukan 60 kali water bombing di daerah cagar biosfer Giam Siak Kecil. Kemarin pagi sembilan helikopter dikerahkan untuk water bombing, dua pesawat Hercules TNI AU dan satu Cassa untuk hujan buatan di Riau,” Ungkap Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief lewat rilis yang diterima Mongabay-Indonesia.
Pagi ini cuaca di Pekanbaru memang cerah. Sinar matahari telah menyentuh seluruh bumi kota bertuah ini. Hal yang sama juga di beberapa daerah lainnya di Riau. Menurut BMKG, jarak pandang di Pekanbaru sekitar 6.000-7.000 meter pagi dan siang hari.
Selama dua malam tiga hari di Riau, Senin pagi Presiden SBY akhirnya bertolak ke Jogjakarta dengan meninggalkan pesan di akun twitternya tentang hasil pantauannya langsung yang diperolehnya dari lapangan baik bertemu muka dengan masyarakat maupun menggelar sejumlah rapat dengan pemerintah daerah.
Dalam akun twitternya @SBYudhoyono berkicau sebelas kali tentang apa saja kebijakannya untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Riau. Tanda bintang pada SBY merupakan kicauan dari dirinya sendiri.
Ia memulainya dengan mengungkapkan ada tujuh penyebab dan akar masalah kebakaran terus terjadi di Riau. Menurut dia, penyebab pertama dikarenakan cuaca yang ekstrim, lahan gambut yang mudah terbakar dan cara bercocok tanam penduduk dengan cara membakar. Selain itu juga adanya tindakan membakar secara meluas bermotifkan finansial dan tidak optimalnya pencegahan oleh aparat di tingkat bawah. SBY juga menilai kurang cepat dan efektifnya pemadaman api oleh pemerintah serta penegakkan hukum yang tidak bisa menyentuh master-mind (aktor intelektual) pembakaran.
Terkait dengan tujuh akar masalah itu, SBY mengeluarkan sejumlah kebijakan dan intruksi. Di antaranya maksimal tiga minggu ini api dipadamkan dan asap hilang. Untuk ini pemerintah akan menambah kekuatan TNI dan peralatan yg diperlukan. Berikut intruksi lainnya dari Presiden SBY:
“Setelah itu, 5 bulan ke depan kita lakukan penertiban kawasan & pencegahan kebakaran berkelanjutan. Daerah di depan, Pusat membantu. *SBY*
Pemerintah akan adakan pesawat pemadam kebakaran (water bomber) & bantuan peralatan kpd penduduk agar tidak lagi membakar. *SBY*
Perusahaan2 yg berusaha di Riau saya minta utk berkontribusi (melalui CSR) dlm pengadaan sarana & peralatan. Mereka bersedia. *SBY*
Ke depan jika masih ada pihak-pihak yg membakar & sebabkan bencana lagi, hukum harus ditegakkan secara tegas, keras & cepat. *SBY*
SBY menutup kicauannya dengan keyakakinan bahwa kebijakan tersebut akan mengubah Riau dari langganan kabut asap menjadi tidak. “Insya Allah, dgn kebijakan & cara ini, Riau akan berubah. Semua kita abdikan utk rakyat kita. Terutama saudara-saudara kita di Riau. *SBY*
Berbeda dengan keyakinan Presiden SBY, Rusmadya Maharuddin jurukampanye hutan Greenpeace Indonesia meragukan kebijakan yang diumumkan lewat twitter itu.
“Kami mengapresiasi baik Presiden SBY berkantor di Riau akhir pekan ini, tapi ternyata ini tidaklah menyentuh akar masalah kebakaran hutan itu sendiri. Meski presiden mengakui bahwa gambut rentan terhadap pembakaran, tapi di waktu yang bersamaan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang gambut yang akan segera ditandatanganinya justru menempatkan gambut semakin tidak terlindungi dan rentan kebakaran,” kata Rusmadya kepada Mongabay Senin siang di kantornya.
Ia menjelaskan, dalam draf RPP Gambut masih mengkategorikan hamparan gambut yang rentan kering dan rusak ini masih bisa dibudidayakan selain sebagai fungsi lindung yang seharusnya dipertegas dalam regulasi ini.
“Ini masih memberikan ruang eksploitasi pemanfaatan gambut. Di samping itu tidak ada sanksi yang jelas dalam RPP itu, kecuali administratif. Padahal pelanggaran terhadap kriteria baku gambut adalah delik pidana. Itu bukan administrasi lagi, tapi kejahatan lingkungan,” lanjut Rusmadya.
Sementara itu Koordinator Jikalahari, Muslim Rasyid sebaliknya bertanya apakah yang dimaksud kebijakan presiden mengatasi kebakaran hutan itu adalah dengan menyediakan pesawat pemadaman kebakaran atau mendesak perusahaan agar membantu peralatan pemadaman api melalui bantuan community social responsibility (CSR) mereka.
“Padahal tindakan itu hanya respon cepat. Misalnya bagaimana mematikan asap, orang yang sakit segera diobati. Kalau itu dianggap kebijakan, maka itu membuktikan dia tidak melakukan apa-apa dalam perlindungan gambut, berarti dia masih menempatkan gambut untuk budidaya. Selama 17 tahun industri kehutanan sawit dan HTI di lahan gambut itu sudah gagal karena disepanjang tahun selalu ada kebakaran,” katanya.
Muslim mengatakan sesungguhnya pemerintah pernah punya kebijakan yang cukup bisa diandalkan untuk menekan kebakaran dan lahan serta laju kerusakan hutan. Pada tahun 2007-2008, Kepolisian Riau waktu itu yang dipimpin Sujiptadi mampu memerangi pembalakkan liar yang ini berdampak pada berkurangnya laju deforestasi dan titik api.
Selama kurun waktu 2007-2009 laju deforestasi di Riau hanya 91 ribu hektar. Ini jauh berkurang dari dua tahun sebelumnya 272 ribu hektar. Angka deforestasi kembali naik pada periode 2009-2012 sebanyak dua kali lipat, yakni 188 ribu hektar.
“Sebenarnya deforestasi marak lagi pada 2009 dibandingkan 2007-2008 karena pemerintah pusat kembali mengeluarkan kebijakan izin dan Kapoldanya diganti, Jadi sebenarnya penegakkan hukum itu berbanding lurus dengan tingkat kerusakan hutan dan kebakaran hutan. Karena selama periode perang terhadap ilog itu, angka titik api juga paling sedikit.
Setelah hujan berturut-turut bahkan Senin sore, Pekanbaru kembali diguyur hujan, satelit Terra Aqua memang tidak mendeteksi adanya titik api sejak pagi. Bahkan tidak juga terpantau di daratan Sumatra. Karena memang Riau kini memasuki musim penghujan. Ini terkait dengan curah hujan yang meningkat di daerah yang kemarin banyak asap seperti Bengalis, Siak, Meranti dan Rokan Hulu.
Namun demikian BMKG Riau mengkhawatirkan bencana kebakaran hutan yang lebih dahsyat akan terjadi di pertengahan tahun seperti Mei minggu terakhir, Juni, Juli hingga Agustus. Pada bulan-bulan ini memang Riau memasuki musim kemaran dengan intensitas hujan yang berkurang.
“Pengalaman dari tahun ke tahun, kebakaran akan muncul lebih banyak di tengah tahun ini. Bisa lebih besar dari ini. Pada musim ini angin akan bergerak menuju Utara ke negara-negara tetangga dan ini yang dikhawatirkan menjadikannya sebagai isu yang besar,” kata Agus, analis BMKG kepada Mongabay Indonesia Senin sore. (Mangobay)
Label:
Lingkungan,
Pekanbaru,
Pencemaran,
Perambanan,
Seputarriau
0 komentar:
Posting Komentar