Tidak banyak yang mengetahui sejarah Bank Indonesia, apalagi mengetahui siapa pemilik Bank Indonesia. Bank Indonesia bukan milik Negara Indonesia, apalagi milik Rakyat Indonesia.
Sejatinya Bank Indonesia itu milik IMF!
Karenanya jangan berharap Negara Indonesia bisa mencetak uang sendiri. Danjangan harap rakyat negeri ini bisa menikmati hidup layak. Hingga darah menetes habis dari tubuh ke tanah, kesenjangan sosial dan pemiskinan tak akan pernah tuntas dari negeri ini. Satu-satunya solusi adalah keluar dari IMF dan membuat uang sendiri!
Bank sentral, umumnya adalah perusahaan swasta yang diberi monopoli mencetak uang. Bank Sentral Republik Indonesia, semula adalah Bank Nasional Indonesia 46 atau BNI 46. BNI 46, didirikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Namun dipaksa diganti menjadi Nedherland Volkskrediet (NV) DeJavasche Bank.
Bank NV DeJavasche adalah Bank milik penjajah Belanda. Atas dukungan internasional (Yahudi Internasional) menolak dan membekukan BNI 46. Dan memaksa Negara Indonesia mendirikan Bank Republik Indonesia (BRI), sebagai pengganti NV DeJavasche Bank yang memiliki monopoli kebijakan keputusan hutang dan tunduk serta dibawah naungan IMF.
Berikut kronologi terbentuknya Bank Negara Indonesia atau BNI.
Saat Indonesia merdeka, Soekarno-Hatta memutuskan untuk mendirikan bank sentral, yaitu Bank Negara 1946. Terbitkan “Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). ORI terbit dengan satuan 1 sen samapi Rp 100. Nilai setiap 2 rupiah dijamin dengan 1 gram emas. UU no 19/1946.
Atas berdirinya BNI, Pemerintah penjajah Belanda, dan bankir internasional lain, menolak keberadaan Negara Republik Indonesia NKRI dan BNI 46, sekaligus juga menolak ORI. Buntut dari ditolaknya Kemerdekaan RI, agresi militer, dilakukan oleh Negara imperialis yaitu Amerika, Inggris, Perancis dan memberikan boncengan Belanda masuk kembali ke Indonesia.
Akhirnya Indonesia dipaksa lewat perundingan, Konferensi Meja Bundar 1949, Negara Republik Indonesia akan diakui dengan beberapa syarat.
Pertama, utang pemerintah hindia Belanda, harus diambilalih oleh RI muda. Nilainya 4 milar dolar AS. Saat proklamasi NKRI tidak memiliki utang sedikitpun.Kedua dengan dalih agar bisa mengambil alih hutang pemerintah penjajah Belanda, BNI 46 harus dihentikan sebagai bank sentral. Ketiga mengganti BNI 46 dengan De Javasche Bank (yg dulunya milik bankir-bankir kompeni dari keturunan Yahudi) , bank ini kemudian berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).
Dengan BNI 46 diganti NV DeJavasche Bank, ORI dihentikan, diganti dengan Uang Bank Indonesia (UBI), sejak 1952. Begitu diakui, tahun 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Melorot ke Rp 11.4 per dolar pada 1952, saat ORI diganti menjadi UBI. Saat itulah dimulainya penjajahan jenis baru di negeri ini.
Pada 1965, Presiden Soekarno, memutuskan keluar dari PBB, IMF dan Bank Dunia. Perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi. Karena keberaniannya itu, tahun 1967 pemerintahan Soekarno diakhiri oleh konspirasi para bankir, penguasa dan politisi internasional, termasuk Amerika Serikat dengan jalan “kudeta oleh Soeharto”.
Pada tahun 1967 pula, dimulai ‘pembangunan’ oleh Orde Baru, dengan modal dari IMF, Bank Dunia, dan konsorsium bank lainnya. BI sebagai ‘dompetnya’. Konsensus ini dilakukan di Negara Swiss, termasuk memberikan tambang emas Freeport di Irian Barat, sekarang Papua pada Amerika.
Sejak itu, dari tahun ke tahun, hutang Indonesia membengkak. Pada 2013, mendekati Rp 2000 triliun. 1999, BI dilepas dari Pemerintah RI, dan langsung di bawah kendali IMF. Gubernur BI tidak lagi bagian dari Kabinet RI, tidak akuntable kepada Pemerintah RI, apalagi kepada rakyat RI. Dibiayai bukan dari APBN.
Bank sentral umumnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Detik ini orang masih bertanya: mengapa pemerintah tidak mencetak uang sendiri?
Bank sentral yang tidak langsung dimiliki swasta, “disembunyikan”, di balik undang-undang, sebagai ‘bagian dari negara’. Tapi independen 100 persen.
BI Milik siapa? Jadi misteri. Kalau milik negara, mestinya berupa BUMN, masuk APBN, akuntable terhadap rakyat. Meski tidak mengeluarkan saham, BI, mengeluarkan ‘Sertifikat BI’, yang tentu saja dimiliki bank komersial. Sekitar 50 persen, sertifikat BI sekarang milik asing.
Semantara itu, tugas pokok BI, untuk menjaga nilai rupiah tidak pernah bisa dilakukan. Nilai rupiah sudah hancur lebur, hilang 99 persen nilainya.
Janji bahwa nilai Rp 2 rupiah = 1 gram emas yang dicanangkan Presiden Soekarno para imperialis, kapitalis internasional dan antek-anteknya. Hari ini 1 gram emas setara dengan Rp 520.000. Rakyat RI mengalami 250 ribu kali pemiskinan.
Untuk nutupi kegagalan itu, BI, seperti bankir di manapun, akan melakukan redenominasi. Hari ini redenominasi sudah di mulai. Targetnya, memasuki tahun 2014, akan ada uang baru dengan nulai baru yang lebih memiskinkan rakyat, bangsa dan negeri ini dalam kubangan kemiskinan yang semakin parah.
Bagaimana dengan Bank Sentral negara lain?
Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dsb. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.
Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh ‘London Connection’, yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.
Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bundesbank bukanlah milik rakyat Jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.
Hong Kong and Shanghai Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir.
Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.
Jadi, ‘Bank-bank Nasional’ seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan inter-nasional, modal ‘antar-bangsa’ yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.
Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.
Nasehat saya, rakyat sebaiknya bertindak sendiri, jaga harta, amankan daya beli. Tinggalkan uang kertas, gunakan Dinar emas dan Dirham perak. (red/siaga)
0 komentar:
Posting Komentar