Nenek moyang bangsa Indonesia diduga kuat
oleh para Arkeolog adalah ras Austronesia. Ras ini mendarat di
Kepulauan Nusantara, dan memulai peradaban neolitik. Bukti arkeologi
menunjukkan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di
kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi
menunjukkan muncul juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid.
Populasi
Mongoloid ini menyebar di kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000
tahun lalu dengan membawa bahasa Austronesia dan teknologi pertanian.
Di Nusantara saat ini paling tidak
terdapat 50 populasi etnik Mongoloid yang mendiaminya. Budaya dan bahasa
mereka tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa, yaitu
bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari satu
nenek moyang. Lalu dari manakah populasi Austronesia ini berasal dan
daerah manakah pertama kalinya mereka huni di Nusantara ini? Sebuah
pertanyaan yang belum terjawab oleh riset sejarah selama ini.
Salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan adalah pengkajian dan analisis yang
komprehensif tentang bukti sejarah yang ada dan menelusuri hubungan
historis suatu daerah dengan daerah lainnya. Metode yang digunakan
adalah mengumpulkan cerita/tombo yang ada di masyarakat dan penelusuran
fakta yang mendukung tombo tersebut.
Kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan
bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi
yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat
mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra
adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo
(abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M).
Menurut cerita/tombo
adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah
lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk
Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana
kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana
Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.
Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan
(September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan
puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan
ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentang Atlantis.
Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.
PENDAHULUAN
Nusantara merupakan sebutan untuk negara
kepulauan yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa
Tionghoa menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra sekarang).
Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Migrasi manusia purba
masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara 100.000
sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia purba
“out of Africa“.
Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan
ini ketika masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke
timur, sisa tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua
Babi dan gua Niah (Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum
Masehi, perpindahan besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara
(imigrasi) dilakukan oleh ras Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi
nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara bagian barat. Mereka datang
dalam 2 gelombang kedatangan yaitu sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM
(Wikipedia, 2009).
Bangsa nenek moyang ini telah memiliki
peradaban yang cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik,
ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata
pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan
imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).
Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak
ada 50 populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan
bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik
Mongoloid, mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau
filum bahasa. Bahasa mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang
menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang. Sedangkan di
Indonesia bagian timur terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang
tergolong dalam berbagai bahasa Papua.
Pusat Arkeologi Nasional telah berhasil
meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun, yaitu penelitian DNA purba
dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk Bali. Penelitian itu
menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua situs tersebut
telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada
kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih
memiliki kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.
Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal
usul manusia di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia
modern berasal dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan
kesimpulan bahwa hanya ada satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu
Afrika. Hasil penelitian ini melemahkan teori bahwa manusia modern
berkembang di beberapa penjuru dunia secara terpisah (multi origin).
Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia purba yang fosilnya
ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo soloensis,
mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia
modern (homo sapiens) di Asia Timur. Manusia purba ini yang hidup sejuta
tahun yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens
mendarat di Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan
masih tergabung dengan daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.
Teori kedua yang bertentangan dengan
teori imigrasi Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry
Truman. Teori ini mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia
berasal dari dataran Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era
pleistosen). Populasi ini peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi
hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk
lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat ini diperkuat oleh Umar
Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang
merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini
memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang
tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur.
Bahasa
tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar
Anggara Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan
bangsa Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho,
2009).
Teori awal peradaban manusia berada di
dataran Paparan Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005).
Santos menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan
arkeologis. Hasil analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah
seperti piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya
dan Aztec, peninggalan peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis
geografis (seperti luas wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi,
dan cara bertani) menunjukkan bahwa sistem terasisasi sawah yang khas
Indonesia ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di
Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Setelah melakukan penelitian
selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda Land merupakan pusat
peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan Benua
Atlantis.
Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya.
Pendekatan analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari
kerajaan Nusantara kuno serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan
lainnya kemungkinan besar akan menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara.
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri peradaban awal Nusantara yang
diduga adalah kerajaan Kandis.
TINJAUAN PUSTAKA
Nusantara dalam Lintasan Sejarah
Kepulauan Nusantara telah melintasi
sejarah berabad-abad lamanya. Sejarah Nusantara ini dapat dikelompokkan
menjadi lima fase, yaitu zaman pra sejarah, zaman Hindu/Budha, zaman
Islam, zaman Kolonial, dan zaman kemerdekaan. Kalau dirunut perjalanan
sejarah tersebut zaman kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai
bukti sejarah yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Zaman
Hindu/Budha juga telah ditemukan bukti sejarah walaupun tidak sejelas
zaman setelahnya. Zaman sebelum Hindu/Budha masih dalam teka-teki besar,
maka dalam menjawab ketidakjelasan ini dapat dilakukan dengan analisa
keterkaitan antar kerajaan. Urutan tahun berdiri kerajaan di Indonesia
dapat dilihat pada tabel berikut.
No | Nama Kerajaan | Lokasi Situs | PerkiraanTahun Berdiri |
1. | Kerajaan Kandis* | Lubuk Jambi, Riau | Sebelum Masehi |
2. | Kerajaan Melayu Jambi | Jambi | Abad ke-2 M |
3. | Kerajaan Salakanegara | Pandeglang, Banten | 150 M |
4. | Kepaksian Skala Brak Kuno | Gunung Pesagi, Lampung | Abad ke-3 M |
5. | Kerajaan Kutai | Muara Kaman, Kaltim | Abad ke-4 M |
6. | Kerajaan Tarumanegara | Banten | Abad ke-4 M |
7. | Kerajaan Koto Alang | Lubuk Jambi, Riau | Abad ke-4 M |
8. | Kerajaan Barus | Barus, Sumatra Utara | Abad ke-6 M |
9. | Kerajaan Kalingga | Jepara, Jawa Tengah | Abad ke-6 M |
10. | Kerajaan Kanjuruhan | Malang, Jawa Timur | Abad ke-6 M |
11. | Kerajaan Sunda | Banten-Jawa Barat | 669 M |
12. | Kerajaan Sriwijaya | Palembang, Sumsel | Abad ke-7 M |
13. | Kerajaan Sabak | Muara Btg. Hari, Jambi | 730 M |
14. | Kerajaan Sunda Galuh | Banten-Jawa Barat | 735 M |
15. | Kerajaan Tulang Bawang | Lampung | 771 M |
16. | Kerajaan Medang | Jawa Tengah | 820 M |
17. | Kerajaan Perlak | Peureulak, Aceh Timur | 840 M |
18. | Kerajaan Bedahulu | Bali | 882 M |
19. | Kerajaan Pajajaran | Bogor, Jawa Barat | 923 M |
20. | Kerajaan Kahuripan | Jawa Timur | 1009 M |
21. | Kerajaan Janggala | Sidoarjo, Jawa Timur | 1042 M |
22. | Kerajaan Kadiri/Panjalu | Kediri, Jawa Timur | 1042 M |
23. | Kerajaan Tidung | Tarakan, Kalimantan Timur | 1076 M |
24. | Kerajaan Singasari | Jawa Timur | 1222 M |
25. | Kesultanan Ternate | Ternate, Maluku | 1257 M |
26. | Kesultanan Samudra Pasai | Aceh Utara | 1267 M |
27. | Kerajaan Aru/Haru | Pantai Timur, Sumatra Utara | 1282 M |
28. | Kerajaan Majapahit | Jawa Timur | 1293 M |
29. | Kerajaan Indragiri | Indragiri, Riau | 1298 M |
30. | Kerajaan Panjalu Ciamis | Gunung Sawal, Jawa Barat | Abad ke-13 M |
31. | Kesultanan Kutai | Kutai, Kalimantan Timur | Abad ke-13 M |
32. | Kerajaan Dharmasraya | Jambi | 1341 M |
33. | Kerajaan Pagaruyung | Batu Sangkar, Sumbar | 1347 M |
34. | Kesultanan Aceh | Banda Aceh | 1360 M |
35. | Kesultanan Pajang | Jawa Tengah | 1365 M |
36. | Kesultanan Bone | Bone, Sulawesi Selatan | 1392 M |
37. | Kesultanan Buton | Buton | Abad ke-13 M |
38. | Kesultanan Malaka | Malaka | 1402 M |
39. | Kerajaan Tanjung Pura | Kalimantan Barat | 1425 M |
40. | Kesultanan Berau | Berau | 1432 M |
41. | Kerajaan Wajo | Wajo, Sulawesi Selatan | 1450 M |
42. | Kerajaan Tanah Hitu | Ambon, Maluku | 1470 M |
43. | Kesultanan Demak | Demak, Jawa Tengah | 1478 M |
44. | Kerajaan Inderapura | Pesisir Selatan, Sumbar | 1500-an M |
45. | Kesultanan Pasir/Sadurangas | Pasir, Kalimantan Selatan | 1516 M |
46. | Kerajaan Blambangan | Banyuwangi, Jawa Timur | 1520-an M |
47. | Kesultanan Tidore | Tidore, Maluku Utara | 1521 M |
48. | Kerajaan Sumedang Larang | Jawa Barat | 1521 M |
49. | Kesultanan Bacan | Bacan, Maluku | 1521 M |
50. | Kesultanan Banten | Banten | 1524 M |
51. | Kesultanan Banjar | Kalimantan Selatan | 1526 M |
52. | Kesultanan Cirebon | Jawa Barat | 1527 M |
53. | Kesultan Sambas | Sambas, Kalimantan Barat | 1590-an M |
54. | Kesultanan Asahan | Asahan | 1630 M |
55. | Kesultanan Bima | Bima | 1640 M |
56. | Kerajaan Adonara | Adonara, Jawa Barat | 1650 M |
57. | Kesultanan Gowa | Goa, Makasar | 1666 M |
58. | Kesultanan Deli | Deli, Sumatra Utara | 1669 M |
59. | Kesultanan Palembang | Palembang | 1675 M |
60. | Kerajaan Kota Waringin | Kalimantan Tengah | 1679 M |
61. | Kesultanan Serdang | Serdang, Sumatra Utara | 1723 M |
62. | Kesultanan Siak Sri Indrapura | Siak, Riau | 1723 M |
63. | Kasunanan Surakarta | Solo, Jawa Tengah | 1745 M |
64. | Kesltn. Ngayogyakarto Hadiningrat | Yogyakarta | 1755 M |
65. | Praja Mangkunegaran | Jawa Tengah-Yogyakarta | 1757 M |
66. | Kesultanan Pontianak | Kalimantan Barat | 1771 M |
67. | Kerajaan Pagatan | Tanah Bumbu, Kalsel | 1775 M |
68. | Kesultanan Pelalawan | Pelalawan, Riau | 1811 M |
69. | Kadipaten Pakualaman | Yogyakarta | 1813 M |
70. | Kesultanan Sambaliung | Gunung Tabur | 1810 M |
71. | Kesultanan Gunung Tabur | Gunung Tabur | 1820 M |
72. | Kesultanan Riau Lingga | Lingga, Riau | 1824 M |
73. | Kesultanan Trumon | Sumatra Utara | 1831 M |
74. | Kerajaan Amanatum | NTT | 1832 M |
75. | Kesultanan Langkat | Sumatra Utara | 1877 M |
76. | Republik Indonesia | Kepulauan Nusantara | 17-8-1945 |
Sumber: http://www.wikipedia.com (dengan olahan), *Tahun berdiri berdasarkan tombo adat |
Dalam catatan sejarah terdapat informasi
yang terputus antara zaman pra sejarah dengan zaman Hindu/Budha. Namun
dari Tabel 1 diatas dapat diperoleh gambaran bahwa peradaban Nusantara
kuno bermula di Sumatra bagian tengah dan ujung barat pulau Jawa. Dari
abad ke-1 sampai abad ke-4 daerah yang dihuni meliputi Jambi (kerajaan
Melayu Tua), Lampung (Kepaksian Skala Brak Kuno), dan Banten (kerajaan
Salakanegara). Untuk mengetahui peradaban awal Nusantara kemungkinan
besar dapat diketahui melalui analisa keterkaitan tiga kerajaan
tersebut.
Kerajaan Melayu Tua di Jambi
Di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan
Melayu tua yaitu, Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat
dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa
Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga
dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812)
dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao.
Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan
kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada
gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam
teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau. Penduduk yang mendiami
pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan
kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah.
Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan
termasuk rumpun Proto-Negrito atau Melayu Tua yang sebelumnya menghuni
daratan Sumatera (Wikipedia, 2009).
Menurut data Cina Koying telah melakukan
perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah Sumatra Selatan
dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas
perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau
Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han
(abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera
tertentu.
Adanya kemungkinan penyebaran berbagai
negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal
di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu
kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah
timur Tupo atau Thu-po, Tchu-po, Chu-po dan kedudukannya di muara
pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara
Sabak Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa dan Muara Tembesi atau Fo-ts’I,
San-fo-tsi’, Che-li-fo-che sebelum seroang sampai di Jambi Tchan-pie,
Sanfin, Melayur, Moloyu, Malalyu. Dengan demikian seolah-olah
perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat
ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen
terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi. Hubungan dagang secara
langsung terjadi dalam perdagangan dengan negeri-negeri di luar di
sekitar Teluk Wen dan Selat Malaka maka besar kemungkinan negeri Koying
berada di sekitar Alam Kerinci.
Keberadaan Koying yang pernah dikenal di
manca negara sampai abad ke 5 M sudah tidak kedengaran lagi.
Diperkirakan setelah Koying melepaskan kekuasaanya atas kerajaan
Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying secara perlahan-lahan menghilang.
Koying yang selama ini tersohor sebagai salah satu negara nusantara
pemasok komoditi perdagangan manca negara sudah tidak disebut-sebut
lagi. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak dialami Koying saja, karena
kerajaan lain pun yang pernah jaya semasa itu banyak pula yang mengalami
nasib yang sama.
Namun yang jelas, di wilayah Alam Kerinci
sebelum atau sekitar permulaan abad masehi telah terdapat sebuah
pemerintahan berdaulat yang diakui keberadaanya oleh negeri Cina yang
disebut dengan negeri Koying atau kerajaan Koying.
Kerajaan Kepaksian Sekala Brak
Sekala Brak adalah sebuah kerajaandi kaki
Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) yang menjadi cikal-bakal
suku bangsa/etnis Lampung saat ini. Asal usul bangsa Lampung adalah dari
Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau,
sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di
Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung
menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau
sungai-sungai yaitu Way Komring, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih,
Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga
meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.
Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang
disalin oleh Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454
dan 464 Masehi disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di
antara pulau Jawa dan Kamboja. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke 3
telah berdiri Kerajaan Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara
pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama
perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan
bahkan dengan India dan Negeri Cina.
Kerajaan Salakanegara
Kerajaan Salakanagara (Salaka=Perak) atau
Rajatapura termasuk kerajaan Hindu. Ceritanya atau sumbernya tercantum
pada Naskah Wangsakerta. Kerajaan ini dibangun tahun 130 Masehi yang
terletak di pantai Teluk Lada (wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten).
Raja pertamanya yaitu Dewawarman yang memiliki gelar Prabu Darmalokapala
Dewawarman Haji Rakja Gapura Sagara yang memerintah sampai tahun 168 M.
Dalam Babad suku Sunda, Kota Perak ini
sebelumnya diperintah oleh tokoh Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya atau Aki
Tirem, waktu itu kota ini namanya Pulasari. Aki Tirem menikahkan
putrinya yang bernama Pohaci Larasati dengan Dewawarman. Dewawarman ini
sebenarnya Pangeran yang asalnya dari negri Palawa di India Selatan.
Daerah kekuasaan kerajaan ini meliputi semua pesisir selat Sunda yaitu
pesisir Pandeglang, Banten ke arah timur sampai Agrabintapura (Gunung
Padang, Cianjur), juga sampai selat Sunda hingga Krakatau atau Apuynusa
(Nusa api) dan sampai pesisir selatan Swarnabumi (pulau Sumatra). Ada
juga dugaan bahwa kota Argyre yang ditemukannya Claudius Ptolemalus
tahun 150 M itu kota Perak atau Salaknagara ini. Dalam berita Cina dari
dinasti Han, ada catatan dari raja Tiao-Pien (Tiao=Dewa, Pien=Warman)
dari kerajaan Yehtiao atau Jawa, mengirim utusan/duta ke Cina tahun 132
M.
Mitologi Minangkabau
Orang Minangkabau mengakui bahwa mereka
merupakan keturunan Raja Iskandar Zulqarnaen (Alexandre the Great) Raja
Macedonia yang hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar
dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan
penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan
untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar
Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang,
dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi),
Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo
menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat tambo
sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: “…Tatkala maso dahulu, batigo
rajo naiek nobat, nan surang Maharajo Alif, nan pai ka banda Ruhum, nan
surang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan surang Maharajo
Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga
orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi
ke negeri Ruhum (Eropa), yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke
negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke
pulau Sumatera).
Dalam versi lain diceritakan, seorang
penguasa di negeri Ruhum (Rum) mempunyai seorang putri yang sangat
cantik. Iskandar Zulkarnain menikah dengan putri tersebut. Dengan putri
itu Iskandar mendapat tiga orang putra, yaitu Maharaja Alif, Maharaja
Depang, dan Maharaja Diraja. Setelah ketiganya dewasa Iskandar berwasiat
kepada ketiga putranya sambil menunjuk-nunjuk seakan-akan
memberitahukan ke arah itulah mereka nanti harus berangkat melanjutkan
kekuasaannya. Kepada Maharaja Alif ditunjuk kearah Ruhum, Maharaja
Depang negeri Cina, Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Nusantara).
Setelah Raja Iskandar wafat, ketiga
putranya berangkat menuju daerah yang ditunjukkan oleh ayahnya. Maharaja
Diraja membawa mahkota yang bernama “mahkota senggahana”, Maharaja
Depang membawa senjata bernama “jurpa tujuh menggang”, Maharaja Alif
membawa senjata bernama “keris sempana ganjah iris” dan lela yang tiga
pucuk. Sepucuk jatuh ke bumi dan sepucuk kembali ke asalnya jadi mustika
dan geliga dan sebuah pedang yang bernama sabilullah.
Berlayarlah bahtera yang membawa ketiga
orang putra itu ke arah timur, menuju pulau Langkapuri. Setibanya di
dekat pulau Sailan ketiga saudara itu berpisah, Maharaja Depang terus ke
Negeri Cina, Maharaja Alif kembali ke negeri Ruhum, dan Maharaja Diraja
melanjutkan pelayaran ke tenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa
Alkibri atau disebut juga dengan Pulau Emas (Andalas atau Sumatra
sekarang). Setelah lama berlayar kelihatanlah puncak gunung merapi
sebesar telur itik, maka ditujukan bahtera kesana dan berlabuh didekat
puncak gunung itu. Seiring menyusutnya air laut mereka berkembang di
sana.
Dari keterangan Tambo itu tidak ada
dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah
yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah
berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman
dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita
hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat
jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah
raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak
kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak
mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran
nama-nama rajanya.
Mitologi Lubuk Jambi
Pulau Perca adalah salah satu sebutan
dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama
sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya
merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi.
Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang
tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau
Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang
dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan
kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah
melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian
nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan
terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca terletak berdampingan dengan
Semenanjung Malaka yang dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan
Samudra Hindia sebelah barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau
Perca berdekatan dengan Semenanjung Malaka, maka daerah yang dihuni
manusia pertama kalinya berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih
mudah dijangkau dari pada Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul
merupakan Bukit Barisan yang berjejer dari utara ke selatan, dan yang
paling dekat dengan Semenanjung Malaka adalah Bukit Barisan yang berada
di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang, tepatnya adalah Bukit Bakau yang
bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit Selasih (sekarang berada dalam
wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan
Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau), sedangkan daratan
yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.
Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal
dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra
Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan
Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda
Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas
(Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan
rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan
Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan
daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.
Maharaja Diraja sesampainya di Bukit
Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana
Dhamna. Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto
Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah
Datuk Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki
senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai
saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo
Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang
bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah
Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah
Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan
Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang
kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini
adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung
layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah
kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan
untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan
tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja.
Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan
tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis
diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro
Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis
membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah
hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai
puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik
ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang
Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan
Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna
kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.
Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil
dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan
oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan
hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur
pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan
akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.
Air laut semakin surut sehingga daerah
Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto
Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai
Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah
timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang
Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga
berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di
Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru,
maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul
peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil
Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan
dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh
Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih
dan Temenggung pindah ke Merapi.
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah
Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang
diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila)
karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke
Gunung Merapi (Sumatra Barat) di mana keduanya mengukir sejarah Sumatra
Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan
Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar
kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina
belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat
berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah
mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan
perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis
berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka
sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah.
Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan
Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dikelompkkan menjadi dua,
yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian
pendahuluan terdiri dari mengumpulkan cerita/tombo/mitologi di daerah
Lubuk Jambi dengan melakukan wawancara dengan pemangku adat setempat.
Kemudian melakukan analisis topografi untuk mencari titik lokasi yang
diduga kuat sebagai lokasi kerajaan. Tahap berikutnya adalah melakukan
ekspedisi/pencarian lokasi. Penelitian lanjutan adalah penelitian
arkeologis untuk membuktikan kebenaran cerita/tombo. Data yang
didapatkan di lokasi dianalisis dan dicari keterkaitannya dengan bukti
sejarah dan cerita di daerah sekitarnya (Jambi dan Minangkabau).
Penelitian pendahuluan mulai dilaksanakan pada bulan September 2008
sampai April 2009, sementara penelitian lanjutan belum dilaksanakan
karena keterbatasan sumberdaya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Kerajaan Kandis
Analisis topografi yang dilakukan pada
peta satelit yang diambil dari google earth, ditemukan lokasi yang
dicirikan di dalam tombo/cerita (bukit yang dikelilingi oleh sungai).
Daerah tersebut berada pada titik 0042’58 LS dan 101020’14
BT (Gambar 1) atau berada hampir di titik tengah pulau Sumatra
(perbatasan Sumatra Barat dan Riau). Lokasinya berada di tengah hutan
adat Lubuk Jambi, oleh pemerintah dijadikan sebagai kawasan hutan
lindung yang dinamakan dengan hutan lindung Bukit Betabuh. Jarak lokasi
dari jalan lintas tengah Sumatra lebih kurang 10 km ke arah barat,
dengan topografi perbukitan.
Pencarian lokasi/ekspedisi dilakukan
dengan peralatan navigasi darat sederhana, yaitu menggunakan peta,
kompas, dan teropong binokuler. Pada lokasi yang dituju, ditemukan
hal-hal yang mencirikan bukit tersebut sebagai peninggalan peradaban
manusia. Lebih kurang 2 km sebelum Bukit Bakar ditemukan batu
karst/karang laut yang berjejer, batu ini diduga sebagai pagar lingkar
luar kerajaan (Gambar 2)
Gambar 2 Batu Karst yang diduga sebagai pagar lingkar luar kerajaan
Pada bukit yang dikelilingi oleh sungai
yang sangat jernih, pada bagian puncaknya ditemukan batu karst yang
memenuhi puncak bukit (Gambar 3). Batu karst itu pada lereng bagian
timur dan utara tersingkap, sedangkan lereng selatan dan barat
tertimbun. Lereng tenggara ditemukan seperti tiang batu yang diduga
bekas menara istana (Gambar 4).
Gambar 3 Batu Karst yang memenuhi puncak bukit
Pada lereng timur bukit sebelah atas kira-kira 1200 m dari sungai ditemukan mulut goa yang diduga pintu istana, akan tetapi pintu ini pada bagian dalam sudah tertutup oleh reruntuhan batu. Pintu goa ini tingginya 5 meter dengan ruangan di dalamnya sejauh 3 meter, dan dalam goa tersebut terlihat seperti ada ruangan besar di dalamnya namun sudah tertutup
(Gambar 5).
Gambar 5 Mulut goa yang diduga pintu masuk istana
Pada lereng bukit bagian selatan sampai
ke barat ditemukan teras sebanyak tiga tingkat, diduga bekas cincin air
(Gambar 6), sementara lereng utara sampai timur sangat curam dan
terlihat seperti terjadi erosi yang parah. Teras ini lebarnya rata-rata 4
m, jarak antara sungai dengan teras pertama kira-kira 200 m, teras
pertama dengan teras kedua kira-kira 400 m, teras kedua dengan teras
ketiga kira-kira 500 m dan panjang lereng diperkirakan 1500 m.
Berdasarkan analisa di peta bukit ini dari timur ke barat berdiameter
3000 m, dan dari utara ke selatan berdiameter 3000 m, beda elevasi
antara sungai dengan puncak bukit 245 m. Pada lereng barat daya,
kira-kira pada ketinggian lereng 800 m ditemukan mata air yang mengalir
deras. Ukuran ini berdasarkan perkiraan di lapangan dan pengukuran di
peta satelit. Untuk mendapatkan ukuran sebenarnya perlu pengukuran
dilapangan.
Gambar 6 Teras yang diduga bekas cincin airGambar 7 Sketsa Lokasi situs kerajaan Kandis
Melihat ciri-ciri atau karakter lokasi,
lokasi ini sangat mirip dengan sketsa kerajaan Atlantis yang ditulis
dalam mitologi Yunani “Timeus dan Critias” karya Plato (360 SM).
Mitologi ini menyebutkan “Poseidon mengukir gunung tempat kekasihnya
tinggal menjadi istana dan menutupnya dengan tiga parit bundar yang
lebarnya meningkat, bervariasi dari satu sampai tiga stadia dan terpisah
oleh cincin tanah yang besarnya sebanding”. Bangsa Atlantis
lalu membangun jembatan ke arah utara dari pegunungan, membuat rute
menuju sisa pulau. Mereka menggali kanal besar ke laut, dan di samping
jembatan, dibuat gua menuju cincin batu sehingga kapal dapat lewat dan
masuk ke kota di sekitar pegunungan; mereka membuat dermaga dari tembok
batu parit. Setiap jalan masuk ke kota dijaga oleh gerbang dan menara,
dan tembok mengelilingi setiap cincin kota. Tembok didirikan dari
bebatuan merah, putih dan hitam yang berasal dari parit, dan dilapisi
oleh kuningan, timah dan orichalcum (perunggu atau kuningan). Ada kemiripan mitologi ini dengan mitologi yang ada di Lubuk Jambi.
Gambar 8 Perspektif Istana Dhamna menggunakan Sketsa Kerajaan Atlantis
Ini hanya sebuah dugaan yang belum
dibuktikan secara ilmiah, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut. Survei arkeologi yang dilakukan ke lokasi belum bisa
menyimpulkan lokasi ini sebagai peninggalan kerajaan karena belum cukup
barang bukti untuk menyimpulkan seperti itu. Namun sudah dapat
dipastikan bahwa daerah tersebut pernah dihuni atau disinggahi manusia
dulunya.
Analisa Mitologi Minangkabau vs Mitologi Lubuk Jambi
Terlepas dari benar tidaknya sebuah
mitologi, kesamaan cerita dalam mitos tersebut akan mengantarkan pada
suatu titik terang. Tambo Minangkabau begitu indah didengar ketika pesta
nikah kawin dalam bentuk pepatah adat menunjukkan kegemilangan masa
lalu. Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi, dua cerita yang bertolak
belakang. Minangkabau mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah Sultan
Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain yang berlabuh di puncak gunung
merapi. Air laut semakin surut keturunan Maharaja Diraja berkembang di
sana hingga menyebar kebeberapa daerah di Sumatra.
Lain halnya dengan
tambo Lubuk Jambi, tambo itu mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah
Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain, berlabuh di Bukit Bakar dan
membangun peradaban di sana. Dari Lubuk Jambi keturunan-keturunannya
menyebar ke Minangkabau dan Jambi. Namun tambo tidak menyebutkan tahun.
Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Lubuk Jambi yang berarti asalnya
(lubuk) orang-orang Jambi. Menurut ceritanya, Kandis sejak kalah perang
dalam ekspedisi Sintong dan penyembunyian peradaban mereka ceritanya
disampaikan secara rahasia dari generasi ke generasi oleh Penghulu Adat
atau dikenal dalam istilahnya ”Rahasio Penghulu”. Namun kebenaran cerita rahasia ini perlu dibuktikan.
Dari kedua tambo tersebut di atas, dapat
ditarik benang merah yaitu ”sama-sama menyebutkan bahwa nenek moyang
mereka adalah Iskandar Zulkarnain”. Tapi dalam catatan sejarah yang
diketahui Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great/ Alexander Agung)
tidak mempunyai keturunan.
Plato-Atlantis-Iskandar Zulkarnain-Kandis
Plato, filosof kelahiran Yunani (Greek philosopher)
yang hidup 427-347 Sebelum Masehi (SM). Plato adalah salah seorang
murid Socrates, filosof arif bijaksana, yang kemudian mati diracun oleh
penguasa Athena yang zalim pada tahun 399 SM. Plato sering bertualang,
termasuk perjalanannya ke Mesir. Pada tahun 387 SM dia mendirikan
Academy di Athena, sebuah sekolah ilmu pengetahuan dan filsafat, yang
kemudian menjadi model buat universitas moderen. Murid yang terkenal
dari Academy tersebut adalah Aristoteles yang ajarannya punya pengaruh
yang hebat terhadap filsafat sampai saat ini.
Dengan adanya Academy, banyak karya Plato
yang terselamatkan. Kebanyakan karya tulisnya berbentuk surat-surat dan
dialog-dialog, yang paling terkenal mungkin adalah Republic. Karya
tulisnya mencakup subjek yang terentang dari ilmu pengetahuan sampai
kepada kebahagiaan, dari politik hingga ilmu alam. Dua dari dialognya
“Timeus dan Critias” memuat satu-satunya referensi orisinil tentang
pulau Atlantis.
Bagaimana hubungannya dengan Iskandar
Zulkarnain, Iskandar adalah anak dari Raja Makedonia, Fillipus II.
Ketika berumur 13 tahun, Raja Filipus mempekerjakan filsuf Yunani
terkenal, Aristoteles, untuk menjadi guru pribadi bagi Iskandar. Dalam
tiga tahun, Aristoteles mengajarkan berbagai hal serta mendorong
Iskandar untuk mencintai ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filosofi.
KESIMPULAN
Dari penelitian pendahuluan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:- Bukit yang terletak pada 0042’58 LS dan 101020’14 BT diduga sebagai situs peninggalan Kandis yang dimaksudkan didalam tombo/cerita adat.
- Kerajaan Kandis diduga sebagai peradaban awal di nusantara.
- Kerajaan Kandis merupakan replika dari kerajaan Atlantis yang hilang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pemangku Adat Kenogorian Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt.
Tomo, Syamsinar Dt. Rajo Suaro, Danial Dt. Mangkuto Maharajo Dirajo,
Sualis Dt. Paduko Tuan, dan Hardimansyah Dt. Gonto Sembilan), Drs.
Sukarman, Mistazul Hanim, Nurdin Yakub Dt. Tambaro, Abdul Aziz Dt. Dano,
Bastian Dt. Paduko Sinaro, Ramli Dt. Meloan, Marjalis Dt. Rajo Bandaro,
dan Syaiful Dt. Paduko. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Meutia Hestina, Apriwan Bandaro, dan teman-teman yang membantu penulis
dalam ekspedisi: Mudarman, bang Sosmedi, Yogie, Nepriadi, Zeswandi, bang
Izul, Diris, Ikos, dan Yusran. Mas Sam dan Erli terima kasih atas
informasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Datoek Toeah. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Pustaka Indonesia. Bukit Tinggi.Graves, E. E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Hall, D. G. E. tanpa tahun. Sejarah Asia Tenggara. Usaha Nasional. Surabaya.
Kristy, R (Ed). 2007. Alexander the Great. Gramedia. Jakarta.
Kristy, R (Ed). 2006. Plato Pemikir Etika dan Metafisika. Gramedia. Jakarta.
Marsden, W. 2008. Sejarah Sumatra. Komunitas Bambu. Depok.
Olthof, W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Penerbit Narasi. Yogyakarta.
Samantho, A. Y. 2009. Misteri Negara Atlantis mulai tersingkap?. Majalah Madina Jakarta. Terbit Mei 2009.
Suwardi MS. 2008. Dari Melayu ke Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Wikipedia. Ensiklopedi Bebas. http://wikipedia.org.
[1]Koordinator
Tim Penelusuran Peninggalan Kerajaan Kandis di Lubuk Jambi Negeri Gajah
Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi
Riau
[2] Dikumpulkan dari cerita yang diwarisi secara turun temurun oleh Penghulu Adat Lubuk Jambi
0 komentar:
Posting Komentar