Ilustrasi : net |
Koruptorpun selalu menebar senyum ke media, baik saat berjalan menuju gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun ketika menghadapi vonis di pengadilan. Seakan-akan mereka bak seorang pangeran yang ditunggu-tunggu pemirsa. Akankah suatu saat koruptor jadi pahlawan bangsa?.
Media di Indonesia -- baik cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional -- selalu menghiasi diri dengan lagu lama. Koruptor seakan-akan menjadi headline berita yang tidak akan ada ujungnya. Namun, sebahagian penikmat berita merasa sinis, bosan dan kesal dengan ulah para koruptor itu. Mereka dengan tersenyum-senyum menjawab pertanyaan dari para wartawan ketika keluar dari gedung KPK. Bak malaikat yang turun dari langit, tanpa beban sedikitpun dan seakan-akan tidak punya kesalahan langsung menjawab dengan jurus jitu semua pertanyaan sang wartawan.
Di sisi lain, televisi menayangkan kasus perkosaan, pencuri sandal, pelaku kriminal, kasus narkoba, razia wanita malam dan segudang tindak kejahatan lainnya. Ketika para wartawan menyedorkan kamera atasnya, pelaku kejahatan itu menutup muka, karena merasa malu dan aib atas perbuatannya. Ada sebagian menutup dengan tangannya sendiri, atau kepala menunduk ke bawah atau bahkan mereka menutup dengan baju tahanan yang dipakainya.
Mereka menganggap bahwa aib besar menimpanya, mereka malu untuk diketahui banyak orang atas kelakuannya. Mereka malu bisa mengotori nama baik dirinya dan keluarga. Sungguh, beda jauh dengan sikap para koruptor yang mengeruk uang rakyat miliaran rupiah, akan tetapi tidak punya rasa malu sedikitpun.
Memang zaman terus berubah, masa terus berganti. Namun nilai-nilai moral hendaknya tidak lekang dikupas masa. Apalah artinya bila dunia serba canggih, ekonomi terus meningkat, ruang informasi terus terbuka, namun moral pemimpin sangat dangkal. Hilangnya budaya malu ketika berbuat salah adalah bagian dari moral yang dangkal.
Bila kita analisis dengan pikiran yang jernih dan terbuka. Kita akan melihat ulah dan tingkah para penjahat birokrat. Prinsip ekonomi mereka terapkan dalam perbuatan jahat, bagaimana dengan modal sekecil-kecil dapat meraih untung sebesar-besarnya. Artinya, semakin kecil kejahatan yang dilakukan, maka semakin besar rasa malu para pelakunya, tetapi semakin besar kejahatan para penjahat aparat negara, maka semakin kecil rasa malunya. Inilah akibat bila pergeseran nilai sudah membumi di kalangan penjahat birokrat.
Tidak bisa dipungkiri pula, bila pergeseran nilai ini terus terjadi. Maka bisa jadi suatu saat koruptor akan menjadi pahlawan bangsa. Koruptor akan dielukan-elukan oleh rakyat, mereka memang penjahat, akan tetapi penjahat terhormat. Hal ini yang kita khawatirkan terjadi bila para koruptor tidak memiliki rasa malu lagi dalam dirinya. Merasa tak bersalah, merasa tidak melakukan apa-apa walaupun sudah di sandang status tersangka dari KPK.
Mustahil sebuah lembaga independen yang bernama KPK memutuskan kasus hukum seseorang dengan kepala panas. Apalagi sistem keputusan KPK menggunakan dua alat bukti dan bersifat kolektif kolegial dalam menentukan status hukum seseorang. Maka sudah menjadi Sunnah KPK, bila sudah menetapkan status tersangka pada seseorang, dapat dipastikan seseorang tersebut melakukan tindak kejahatan korupsi. Tapi ironisnya, kenapa para koruptor tersenyum ria tanpa salah di depan media. Sungguh aneh kelakuan anak bangsa di bumi pertiwi tercinta.
Sungguh mengkhawatirkan dan mengecewakan lagi, bila suatu saat penjahat negara akan menjadi sebuah simbol kenegaraan. Seakan-akan kalau belum korupsi, maka belum pantas jadi pejabat. Bisa jadi pula, suatu saat koruptor akan menjadi pahlawan terhormat. Mereka kemana-mana mendapatkan medali atas kejahatan yang dilakukannya. Solusi alternatif untuk menghilangkan kekhawatiran semua itu, hukuman yang pantas bagi koruptor adalah hukuman mati. Bila sudah ditetapkan status tersangka oleh KPK langsung di eksekusi mati. Sehingga mereka tidak bebas senyam-senyum di media massa. Dengan demikian insya Allah akan mampu menjaga karakter dan idealisme bangsa Indonesia di mata dunia.
0 komentar:
Posting Komentar