Penghancuran lahan gambut di Semenanjung Kampar di Riau oleh PT RAPP yang menyuplai bahan kertas untuk APRIL tahun 2012 lalu. Foto: Eyes on the Forest |
Kebijakan baru APP ini sendiri -yang akan mengambil bahan pembuat kertas hanya dari perkebunan yang ditanam sendiri, menghentikan pembabatan lahan gambut yang kaya akan karbon, dan bekerjasama dengan masyarakat lokal- memang dinilai langkah signifikan, baik dari kacamata bisnis dan konservasi hutan. Selama ini APP dan perusahaan-perusahaan penyuplai materi kertas mereka telah mengelola 2.5 juta hektar lahan di Indonesia dan memproduksi 15 juta ton bubur kertas, kertas jadi dan kertas kemasan secara global. Tindakan APP ini bisa mengindikasikan adanya perubahan langkah industri kehutanan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Pertanyaannya, apakah APP akan mengikuti komitmen mereka ini dengan aksi nyata di lapangan. Perusahaan ini tak memiliki rekam jejak yang kuat, pernah mengalami kegagalan dalam komitmen mereka di masa lalu untuk mengakhiri deforestasi.
Namun APP pasti memiliki pertimbangan lain kali ini. Perubahan yang berlangsung sangat cepat sebagai upaya untuk meningkatkan praktek perusahaan yang lebih baik dan perkembangan berbagai teknologi untuk mengawasi komitmen ini, akan memaksa APP untuk menjalankan komitmen ini menjadi kenyataan.
Perubahan dalam Lingkungan Bisnis
Industri hasil hutan kini tengah berubah dengan cepat, dan berubah melalui berbagai inovasi teknologi, pola praktek dan kebijakan perusahaan yang baru, dan konsumen yang semakin memahami industri ini. Beberapa kunci pengembangan ini diantaranya:
Jaringan Penyuplai Global Dibawah Pengawasan
Hari-hari dimana pihak perusahaan bisa membeli sumber mentah tanpa asal usul yang jelas, kini sudah berlalu. Kini semua pihak penyuplai bagi perusahaan besar terus diawasi secara konstan.
APP pernah merasakan hal ini secara langsung. Selama satu dekade terakhir, lebih dari 100 perusahaan besar telah menghentikan pembelian mereka dari APP karena alasan lingkungan, termasuk diantaranya Staples, Office Depot dan Walt Disney. Dengan semakin banyaknya klien yang menuntut standar lebih tinggi dan transparansi yang lebih baik, ada dorongan yang lebih kuat bagi perusahaan inii untuk menjadi mitra yang terpercaya dan mampu mengelola jaringan penyuplai mereka (APP sendiri memberlakukan kebijakan baru ni untuk seluruh penyuplai mereka di Indonesia dan Cina).
Lebih jauh lagi, perusahaan pengelola hasil hutan juga berhadapan dengan berbagai perangkat hukum yang didesain untuk melacak sumber pembalakan, seperti misalnya Lacey Act di Amerika Serikat, lalu Regulasi Kayu Eropa di Uni Eropa, dan Pelarangan Pembalakan Liar di Australia. Bahkan perusahaan terkemuka sekelas Gibson Guitar sekalipun pernah terjerat LAcey Act karena mengimpor kayu secara ilegal ke Amerika Serikat.
Monitoring Tutupan Hutan
Proses pemantauan atau monitoring selama ini menjadi batu sandungan bagi upaya dan kebijakan ‘nol-deforestasi’. Perusahaan seperti APP yang beroperasi di pedalaman, mengalami hambatan dengan mahalnya mengirim auditor ke dalam hutan untuk melakukan verifikasi terhadap klaim yang disampaikan pihak perusahaan. Sementara teknologi satelit bisa memonitor hutan dari jarak jauh, namun pencitraan tutupan hutan ini bisa menjadi sangat mahal, sulit dianalisis dan sudah kuno.
Untuk mengatasi hal ini, sebuah sistem baru bernama Global Forest Watch 2.0, sebuah sistem pemantauan hutan yang mendekati real-time akan dirilis pertengahan tahun ini oleh World Resources Insttitute. Sistem yang dirilis secara gratis yang sangat mudah digunakan ini menyediakan peta interaktif hutan di seluruh dunia yang diperbarui setiap 16 hari. Sistem sepeti GFW 2.0 ini akan memudahkan setiap orang, untuk memonitor kemajuan komitmen APP di lapangan.
Upaya yang transparan dan pendekatan yang mudah diakses dalam pemantauan hutan ini akan membantu upaya tim Eyes on the Forest di Indonesia dan memperkuat kinerja The Forest Trust, Greenpeace dan lembaga-lembaga lainnya untuk memonitor konsesi APP.
Analisis Fiber
Serangkaian teknologi modern yang dikenal sebagai analisis fiber memungkinkan pihak perusahaan dan para aktivis lingkungan untuk melakukan pengujian terhadap kandungan ‘mixed tropical hardwoods‘ atau MTH, yang biasanya mengindikasikan adanya kandungan serat kayu dari hutan hujan tropis Indonesia. Laboratorium menggunakan mikroskop berkekuatan tinggi untuk menguji kandungan kayu, termasuk menentukan apakah kertas ini dibuat dari kayu hasil perkebunan atau hutan alam, dan dalam banyak kasus juga membahayakan spesies angka dan dilindungi.
Analisis fiber selama ini digunakan oleh para aktivis lingkungan seperti Greenpeace, Rainforest Action Network, dan World Wildlife Fund for Nature untuk memantau jaringan distribusi. Kini, pihak perusahaan mengirim sample milik mereka sendiri untuk diverifikasi. Seiring dengan meningkatnya praktek ini, APP bisa berharap bahwa produk yang mereka hasilkan bisa diuji secara ketat.
Menekan Deforestasi
Berbagai kemajuan dalam industri kehutanan mengalami kemajuan signifikan, namun berbagai upaya tetap harus dilakukan. Dunia ini tetap kehilangan 13 juta hektar hutan setiap tahunnya, ukuran ini kurang lebih sama seperti negara Inggris. Di Indonesia sendiri, moratorium penebangan hutan dan lahan gambut akan berakhir tahun ini, dan masih belum jelas samai saat ini apakah kebijakan yang sangat penting ini akan dilanjutkan atau tidak.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam hal ini. Di lapangan, dimana APP dan perusahaan penyuplainya beroperasi, membutuhkan penegakan hukum yang lebih tegas, sama halnya dengan penghargaan terhadap hak-hak masyarakat setempat.
Pertaruhannya sangat besar disini: Jika APP berhasil mengimplementasikan kebijakan ramah lingkungan baru mereka, hal ini akan membangun momentum bagi perusahaan lainnya untuk melakukannya juga. Upaya untuk melindungi hutan dunia telah dilakukan, kini kita harus memastikan bahwa hal ini bisa terlaksana.
Naskah asli komentar ini dimuat di Asia Pulp & Paper’s Anti-Deforestation Pledge: Sign Of A Changing Industry
0 komentar:
Posting Komentar