Tulisan Khaerudin di
harian Kompas, "Korupsi Hambalang, Mengapa Andi Mallarangeng Terjerat?"
(31 Desember 2012, halaman 4), patut disambut sebagai titik tolak untuk
membicarakan Skandal Hambalang secara lebih konseptual. Saya menanggapi
tulisan Khaerudin dengan harapan agar kabut tebal Hambalang mulai
tersingkap, sebab kita sudah mulai mendiskusikannya dalam arah yang
benar.
Terlebih dahulu saya
ingin menegaskan bahwa penjelasan saya selama ini terhadap posisi
Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Dirjen Anggaran Anny Ratnawati
bukanlah ungkapan “ketidakrelaan” terhadap langkah KPK dalam menetapkan
Andi Mallarangeng (kakak saya) sebagai tersangka, sebagaimana yang
disinggung Khaerudin. Andi langsung mundur sebagai Menpora atas
kesadarannya sendiri, begitu pencekalannya diumumkan oleh KPK. Walau
saya yakin dia tidak bersalah, namun kita serahkan kepada proses hukum
untuk menyimpulkan hal tersebut.
Kalau diambil
substansinya, tulisan Khaerudin bertumpu pada dua argumen. Pertama, Agus
dan Anny, sebagai Menkeu dan Dirjen Anggaran, tidak terlibat dalam
rantai kasus Hambalang karena tanggung jawab mereka hanya sebatas
pencairan, bukan penggunaan dana. Korupsi besar anggaran proyek terjadi
pada wilayah penggunaan dana. Pencairan dan penggunaan dana adalah dua
wilayah tanggung jawab yang berbeda.
Argumen Khaerudin yang
kedua adalah bahwa, berbeda dengan Agus dan Anny, Andi Mallarangeng
sebagai Menpora adalah pihak yang terkait langsung sebagai pengguna
anggaran (PA). Wujud korupsi Hambalang adalah penggelembungan anggaran
dan mark-up yang fantastis dalam pelaksanaan proyek. Mengutip Johan
Budi, Jubir KPK, Khaerudin menjelaskan bahwa “Andi menyalahgunakan
wewenang dalam pengadaan proyek Hambalang.”
Dengan argumen terakhir
ini Khaerudin memberi jawaban terhadap pertanyaan yang dikandung dalam
judul tulisannya: mengapa Andi (harus) terjerat dalam korupsi Hambalang.
Bisa ditebak, karena banyaknya kutipan dari Johan Budi dalam tulisan
Khaerudin, konstruksi dugaan yang ada pada KPK terhadap Andi kurang
lebih hampir sama.
Andi Mallarangeng saat menyatakan mundur sebagai Menpora, didampingi para pejabat tinggi Kemenpora
Keharusan investigasi
Terhadap semua itu, apa yang bisa saya katakan?
Argumen pertama Khaerudin
hanya mungkin benar jika tidak ada pelanggaran dan keanehan dalam
pencairan dana Hambalang. Rantai pencairan dan penggunaan dana tidak
bisa diputuskan begitu saja. Jika pelanggaran dan keanehan terjadi dalam
proses pencairannya, maka wajar untuk bertanya, apakah semua itu
berhubungan, langsung atau tidak, dengan terjadinya korupsi
besar-besaran di tingkat penggunaan dana proyek.
Pelanggaran dan keanehan
seperti apa? Agus dan Anny pasti mengerti peraturannya sendiri
(Peraturan Menteri Keuangan No. 02/2010, pasal 5) bahwa permohonan dana
tahun jamak harus ditandatangani oleh dua menteri, yaitu menteri pemohon
dan menteri pemberi rekomendasi teknis. Peraturan ini tidak boleh
ditawar, sebab ia berhubungan dengan pengelolaan dana negara di
tahun-tahun berikutnya (karena itulah aturannya ditulis dengan predikat
“tahun jamak”, multiyears).
Untuk permohonan dana
Hambalang, Andi sebagai menteri pemohon, dan Djoko Kirmanto sebagai
menteri pemberi rekomendasi (Menteri PU), tidak atau belum membubuhkan
tandatangan. Ini adalah dua fakta penting. Jika peraturan ditegakkan
oleh Agus dan Anny, dana Hambalang seharusnya diblokir.
Sebagai perbandingan,
lihat apa yang terjadi pada permohonan dana alutsista sejumlah Rp678
miliar, sebagaimana yang menjadi kontroversi belakangan ini. Semua
kelengkapan permohonan ini sebenarnya sudah selesai, termasuk
tandatangan menteri pemohon (Menhan Purnomo Yusgiantoro) dengan
persetujuan Komisi I DPR. Namun Agus memblokir permohonan ini, hanya
karena adanya selembar surat keberatan dari Seskab Dipo Alam yang
sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan dana alutsista tersebut.
Kenapa permohonan proyek Hambalang malah terbolak-balik, padahal dananya dua kali lebih besar (Rp1,2 triliun) dan sifatnya yang multiyears
sehingga seharusnya jauh lebih ketat? Apalagi, dalam komponen dana ini
hampir setengahnya, yaitu Rp500 miliar, yang saat itu masih belum
disetujui oleh Komisi X DPR. Elemen yang terakhir ini adalah sebuah
persoalan tersendiri, sebuah fait accompli terhadap negara,
untuk tidak berkata bahwa ia melanggar UU APBN dan aturan turunannya,
yang merupakan tanggung jawab tertinggi Agus dan Anny sebagai
konsekuensi dari jabatan mereka.
Kenapa mereka mencairkan
dana Hambalang walau kelengkapannya yang utama tidak terpenuhi?
Terdesak? Adakah orang berpengaruh di Komisi X DPR atau di partai
politik tertentu yang mendesak kedua pejabat negara ini untuk melanggar
aturannya sendiri? Kenapa Kementerian Keuangan yang biasanya sangat
ketat, seperti dalam kasus dana alutsista, dalam hal dana Hambalang
terkesan begitu lengah, bahkan kalau melihat surat-menyurat persetujuan
dananya (15 November – 6 Desember 2010), dilakukan dengan agak tergesa?
Semua pertanyaan demikian
bukan sekadar pertanyaan akademis. Saya tidak mengatakan bahwa Agus dan
Anny harus segera dijadikan tersangka. Namun saya kira kita semua
sepakat bahwa keduanya perlu menjelaskan asal-usul kesalahan tersebut.
Ini adalah sebuah keharusan dalam investigasi, a neccessity of the highest order.
Mungkin Agus dan Anny
tidak sadar akan implikasi yang begitu jauh sewaktu mereka memutuskan
pencairan dana Hambalang. Namun bagaimanapun, kita butuh penjelasan
keduanya untuk membangun pengertian yang lebih terang tentang
tokoh-tokoh di baliknya yang selama ini masih terus menjadi misteri.
Bukan tidak mungkin tokoh-tokoh yang mendesak mereka adalah pihak yang
sebenarnya memetik keuntungan langsung dari terjadinya korupsi besar
dalam skandal tersebut. Semakin lama Agus dan Anny menahan semua
informasi ini, semakin banyak pihak tak bersalah yang harus menjadi
korban.
Di sinilah terletak
perbedaan posisi saya dan Khaerudin. Saya tidak ingin berhenti hanya
pada Andi Mallarangeng. Andi tidak memiliki karakter, pengalaman, dan
keahlian yang diperlukan untuk mengatur semua korupsi itu dengan
demikian canggih dari atas ke bawah. Karena itu, kalau saya mengaitkan
nama Agus dan Anny dalam membahas masalah Hambalang, saya bukan ingin
sekadar membela seorang kakak, tetapi lebih dari itu, saya ingin
mengajak kita mengerti skandal besar ini dalam semua kompleksitasnya.
Posisi Andi
Argumen Khaerudin yang
kedua agak sedikit membingungkan. Dalam posisi sebagai menteri (PA),
tidak otomatis Andi terkait dengan korupsi yang terjadi di tingkat
pelaksanaan proyek. Masih banyak rantai kewenangan yang berada di
bawahnya, mulai dari KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), PPK (dulu disebut
“pimpro”, pimpinan proyek), hingga panitia tender yang independensinya
dilindungi oleh undang-undang. Setelah itu masih panjang lagi rantai
kewenangan berikutnya, mulai dari kontraktor induk sampai sub-sub
kontraktor yang bergerak dengan cara mereka sendiri.
Saya bukan ingin membebaskan Andi Mallarangeng dari tanggung jawab. Tapi dalam soal sepenting ini the charge has to be clear and more specific. Kita tidak bisa menjatuhkan hidup dan karir seseorang hanya dengan konstruksi dugaan yang melayang di langit.
Dalam tulisannya,
mengikuti argumen Johan Budi, Khaerudin memberi indikasi bahwa Andi
menyalahgunakan kewenangannya karena Andi “tahu” adanya perubahan dana
Hambalang dari single menjadi multiyears. Tentu saja Andi tahu. Bahkan
dari segi kebijakan, dia selalu berdiri paling depan dengan berkata
bahwa pembangunan kompleks Hambalang adalah sebuah hal yang baik, benar,
dan perlu, termasuk jumlah dana yang dibutuhkan sesuai dengan usulan
teknis perencana proyek tersebut.
Semua itu tidak dengan
sendirinya berarti bahwa Andi tahu tentang korupsi dalam realisasi
pembangunannya. Apalagi kalau kita lihat bahwa locum corrupti actiones
dari Skandal Hambalang, sebagaimana yang dijelaskan dalam Audit
Investigasi BPK, terjadi pada kontraktor utama, yaitu PT. Adhi Karya
(sebuah BUMN konstruksi dengan aset Rp5 triliun) dan subkontraktor
terbesarnya, yaitu PT. Dutasari Citralaras, dengan nilai kontrak Rp295
miliar. Di sinilah terjadi perputaran uang yang begitu cepat, begitu
banyak, dengan mark-up yang fantastis, mencapai 1.000 dan 4.000
persen untuk item barang elektronika dan mekanika (Lampiran 9 Audit
Investigasi BPK, 30 Oktober 2012).
Itulah sebenarnya esensi
dari misteri Hambalang di tingkat pelaksanaan proyek. Khaerudin, KPK,
dan kita semua wajib membongkarnya, mencari tahu apa dan kenapa terjadi
mark-up setinggi itu. Bukan 50 persen atau 80 persen, tetapi ratusan
hingga ribuan persen. Begitu banyak, begitu cepat, seolah tergesa dan
agak panik mengejar sesuatu dengan mencari untung yang lebih tinggi dari
batas langit. Hanya dengan mamahami semua inilah kita dapat menjelaskan
Skandal Hambalang dengan lebih utuh.
Adapun mengenai dugaan
bahwa Andi Mallarangeng “menyalahgunakan kewenangan” dengan terjadinya
semua itu, saya tentu tidak sanggup membayangkannya. “Menyalahgunakan”
adalah rangkaian kata dalam kalimat aktif. Bagaimana kalau kewenangannya
“disalahgunakan” oleh pihak lain? Terhadap pertanyaan seperti ini, saya
serahkan kepada para hakim yang terhormat untuk kelak menilainya dengan
seksama. (viva.co.id)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar