TUNISIA, RIAUGREEN.COM - Setiap April menjadi bulan yang sibuk bagi ginekolog Faouzi Hajri. Ia banyak mendapat order reparasi mengembalikan keperawanan oleh banyak calon mempelai perempuan di Tunisia, sebelum malam “sakral pecah durian” usai pesta pernikahan.
Takut ditolak karena dianggap sebagai perempuan “bekas”di negara Islam kolot yang menganggap tabu hubungan badan sebelum menikah, wanita Tunisia makin gemar mengoperasi organ “kehormatannya” itu seperti yang ditawarkan Dokter Hajri.
“Kehormatan wanita mestinya tidak ditentukan oleh beberapa tetes darah,” ujar Salima, perempuan berusia 32 tahun yang ternyata juga melakukan operasi selaput keperawanan sebelum malam pertama usai pesta pernikahan. Ia beralasan agar tak ada pertanyaan macam-macam dari suami mengenai kesuciannya.
Sungguh mudah mereparasi ”kehormatan wanita” di Tunisia, tulis Al Arabiya, Kamis (10/4/2014).
Operasi rutin reparasi “kehormatan” di rumah sakit Tunisia cuma berlangsung sekitar 30 menit dan ongkosnya sekitar US$ 550 sampai US$ 960 (sekitar Rp 6.239.750 sampai Rp 10.881.600). Versi kehormatan yang “kurang permanen” bisa dilakukan seminggu sebelum “malam pertama” , sedangkan versi “abadi” secara teknis bakal dijahit mati.
“Jumlah wanita yang melakukan operasi hymenoplasty atau hymenorraphy (begitulah nama operasi kehormatan tersebut) belakangan ini kemuncak,” ujar Moncef Kamel, seorang dokter di Pulau Djerba, Tunisia selatan.
Dokter Kamel mereparasi “kehormatan wanita” sedikitnya milik 100 orang setiap tahun. Mereka berusia antara 18 dan 45 tahun dan datang ke tempat praktik dokter lelaki ini menggunakan cadar dan kacamata gelap. “Kehidupan seks mereka normal dan aktif” serta umumnya berasal dari kalangan kelas pekerja.
“Ini masalah yang tabu, yang kurang tercatat dalam statistik resmi,” ujar Dokter Hajri. Dokter Hajri pun mengaku mengoperasi 100 perempuan setiap tahun, termasuk mereka yang datang negara-negara jiran seperti Libya dan Aljazair.
Sejak dasa warsa 1950-an, Tunisia dianggap negara Islam paling maju di dunia Arab dalam pengertian soal hak-hak perempuan. Dan dalam konstitusi yang baru disahkan pada Januari kemarin, persamaan gender di Tunisia makin kokoh.
Perubahan demografi Tunisia kini terasa makin toleran terhadap kebebasan pribadi, dan hubungan seks di luar nikah makin dianggap biasa serta makin banyak pasangan menunda pernikahan mereka.
Namun sikap konservatif, kolot, bagi banyak para lelaki Tunisia tetap mengutamakan pentingnya menikahi perempuan yang masih memelihara “kehormatannya”, karena itu permintaan reparasi selaput keperawanan makin digemari perempuan Tunisia. Jayalah Dokter Hajri dan Dokter Kamel. (red/ic)
0 komentar:
Posting Komentar